Perayaan Satu Abad KWI di Katedral Denpasar Diringi Koor Inkulturasi Bali
DENPASAR – Perayaan Ekaristi di Gereja Roh Kudus Katederal, Minggu, 30 Juni 2024, pukul 09.00 Wita, bernuansa sedikit berbeda dari biasanya.
Dekorasi yang cantik didominasi warna kuning begitu menawan di seputaran altar. Lalu sebuah tarian tradisional Bali diiringi musik khas Bali memulai misa pagi itu.
Setelah memanjakan mata umat dengan gerak gemulainya, para penari yang terdiri dari dua perempuan dan dua pria muda itu, lantas ke pintu masuk untuk menjemput Uskup dan para imam konselebrasi serta petugas liturgi lainnya menuju altar.
Tidak hanya itu, koor dalam misa itu dipersembahkan oleh komunitas inkulturasi Bali. Mereka berseragam dengan balutan busana adat Bali, baju berwarna putih dipadu kamen warna kuning.
Demikian pula sejumlah ibu pembawa persembahan memakai busana warna senada dengan petugas koor. Sungguh indah, selaras dengan dekorasi gereja pada misa itu.
Begitulah gambaran sekilas suasana misa di gereja Katedral di penghunjung bulan Juni ini. Hari Minggu ini sejatinya adalah perayaan Minggu Biasa ke XIII. Namun, Gereja Katolik Keuskupan Denpasar mendedikasikan khusus misa kedua di Katedral itu sebagai misa perayaan ulang tahun ke-100 Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) atau Satu Abad KWI.
Misa dipimpin oleh Uskup Denpasar Mgr. Silvester San, sebagai selebran utama. Didampingi empat orang imam yaitu RD. Herman Yoseph Babey (Pastor Paroki Katedral), dua Pastor Rekan Paroki Katedral RD. Paulus Seran Nahak dan RD. Thomas I Nyoman Almasan serta RD. Yohanes Kadek Ariana (Diretur Yayasan Insan Mandiri Denpasar).
Umat yang hadir memadati gereja Katedral. Hampir tidak ada tempat duduk yang tak terisi. Misa berlangsung meriah dengan lagu-lagu liturgi oleh koor yang hampir semuanya diiringi musik bermotif pelog Bali. Bahkan beberapa lagu liturgi yang dinyanyikan berbahasa Bali.
Uskup Denpasar Mgr. Silvester San, dalam pengantar mengungkapkan misa itu secara khusus merayakan 100 tahun (1 abad) KWI.
Menurut Uskup, walaupun perayaan puncak satu abad KWI ini sudah dirayakan di Jakarta bersama seluruh Uskup se-Indonesia pada bulan Mei lalu, namun semua keuskupan di Indonesia diajak untuk merayakaannya di keuskupan masing-masing.
“Kita bersyukur, perjalanan KWI hingga 100 tahun dan semakin baik, semakin bertumbuh dan berkembang. Semoga perjalanan KWI selanjutnya semakin bermakna dan bermanfaat bagi Gereja Katolik dan bagi Bangsa Indonesia yang kita cintai,” ungkap Mgr. San.
Uskup menambahkan “Semoga KWI tetap menjadi inspirasi bagi karya pastoral keuskupan-keuskuapan di Indonesia.”
Tata liturgi misa berlangsung seperti biasanya. Uskup dalam homilinya menegaskan tentang iman yang menyelamatkan. Hal itu terinspirasi dari bacaan Injil yang mengisahkan tentang orang yang disembuhkan dari sakit pendarahan karena imannya kepada Yesus dan seorang anak berusia 12 tahun yang mati dan hidup kembali karena orang tua anak itu percaya bahwa Yesus bisa mengidupkannya.
Uskup mengatakan, meraka dapat diselamatkan karena imannya, percaya bahwa tidak yang mustahil bagi Yesus. “Yesus memiliki mukjizat ilahi sehingga banyak orang beriman kepadaNya. Namun perlu diingat, iman kitalah yang membuat Yesus melakukan mukjizat itu. Yesus melakukan mukjizat untuk menyembuhkan orang sakit dan mengidupkan orang mati, itu karena iman mereka kepadaNya,” katanya.
Iman, lanjut Mgr. San, merupakan penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Tuhanlah yang menyelamatkan. Maka Uskup menegaskan untuk tidak lagi percaya pada hal-hal yang berbau klenik atau mitos.
“Seperti dalam masyarakat kita percaya bahwa setiap bunyi tokek, kita ikuti dengan menyebut sesuatu. Saat tokek berhenti berbunyi lalu percaya yang kita sebut terakhir akan terjadi. Semua itu mitos yang tidak perlu dipercaya,” katanya, seraya menegaskan hanya Tuhan yang menyelamatkan kita, sehingga pasrahkan hidup sepenuhnya kepadaNya.
Usai homili dilanjutkan dengan persembahan. Saat penghantaran persembahan kembali diringi gerak gemulai penari Bali. Dua penari wanita berada di barisan paling depan sambil menari, diikuti langkah ibu-ibu pembawa persembahan dan dua penari pria paling belakang menutup barisan.
Sebelum berkat perutusan di akhir misa, Uskup kembali menginformasikan bahwa perayaan puncak 1 abad KWI sudah dilaksanakan di Jakarta pada 15 Mei 2024 yang dihadiri Uskup se-Indonesia.
Sejarah berdirinya KWI terhitung sejak 15 Mei 1924, saat dibukannya sidang pertama para Waligereja Indonesia. Kala itu belum bernama KWI ataupun MAWI
Dalam sejarahnya, sidang pertama para Waligereja Indonesia, berlangsung pada 15-16 Mei 1924 di Pastoran Katedral Jakarta. Sidang yang diketuai Mgr. A. Van Velsen, SJ, tidak hanya membahas soal-soal Gereja, tetapi sudah membicarakan dan memutuskan ‘penentuan sikap Gereja terhadap politik pemerintah’. Pembukaan sidang pertama itu dikenal sebagai momen bersejarah berdirinya MAWI-KWI.
Uskup juga menjelaskan, KWI adalah wadah persaudaraan atau persekutuan para Uskup Indonesia demi pelayanan pastoral. Setiap keuskupan, kata Uskup, bersifat otonom dan tidak bertanggung jawab kepada KWI.“Uskup bertanggung jawab secara langsung kepada Sri Paus di Vatican, bukan kepada KWI,” pungkasnya. *