LINTAS PERISTIWA

Natal Sederhana dan Homili yang Menyentuh

Saya mengikuti misa Malam Natal, 24 Desember 2024, di kampung halaman, di sebuah gereja stasi yang baru beberapa tahun ini selesai dibangun.

Namanya Stasi St. Mikael Coal. Stasi ini merupakan salah satu dari banyak stasi di Paroki Hati Kudus Yesus Golowelu, Keuskupan Labuan Bajo, sebuah keuskupan bungsu di Indonesia dan baru diresmikan awal November 2024, bersamaan dengan tahbisan Uskupnya yang pertama.

Natal yang sederhana namun terasa indah. Tidak terlalu banyak dekorasi yang mencolok. Umat datang dengan sukacita menyambut Yesus Sang Juru Selamat, terutama di hati mereka masing-masing. Cuaca pun cukup bersahabat.

Secara pribadi Natal ini kesempatan untuk bertemu banyak keluarga, sahabat dan warga lainnya, termasuk warga kampung tetangga yang sebagian besar sudah saling kenal. Sungguh menyenangkan.

Sukacita itu menjadi sempurna, karena Misa Malam Natal ini dipimpin oleh Pastor kelahiran Stasi Coal sendiri, RP. Sefri Juhani, SVD, dengan status pastor tamu Paroki Golowelu.

RP. Sefri Juhani, SVD

Pater Sefri, demikian biasa disapa, adalah pengajar di Seminari Tinggi Ladalero Maumere. Pastor muda ini baru saja menyelesaikan S-3 di Malang-Jatim. Sedangkan Lisensiatnya (setara S-2) diambil di Roma-Italia, beberapa tahun silam.

Setelah menyelesaikan studi di Malang, Pater Sefri mampir berlibur di kampung Coal, sebelum kembali ke Maumere setelah tahun baru. Liburan sang imam tentu disambut gembira oleh Pastor Paroki Golowelu, karena kehadiran Pater Sefri dapat membantu melayani Misa Natal di beberapa stasi termasuk di stasi kelahirannya.

Homili Menyentuh

Misa di Stasi Coal dimulai pukul 16.00 Wita. Setelah perayaan di stasi ini, Pater Sefri,SVD segera bergeser ke Stasi Lewur, sebuah stasi lainnya di paroki itu, berjarak sekitar 15 menit dengan kendaraan roda dua.

Perayaan Malam Natal itu, seperti biasa diawali perarakan menuju altar. Sudah menjadi tradisi di kampung, di mana langkah sang imam dan petugas liturgi lainnya dihantar oleh gerak gemulai tarian khas Manggarai oleh gadis-gadis cilik Stasi Coal, diiringi lagu pembuka dari koor yang bertugas.

Para penari mengiringi barisan Pastor dan para petugas liturgi menuju altar.

Dalam sapaan pembuka misa, Pater Sefri mengatakan “Tuhan datang untuk membangunkan kita, mungkin ada yang masih tidur dan sering tidur. Tuhan juga datang untuk membawa terang, mungkin banyak di antara kita yang hidup dalam gelap.”

Pater Sefri mengakui, ini adalah perayaan Natal pertamanya di kampung sendiri, setelah ditahbiskan menjadi imam tahun 2008 lalu.

Setelah ditahbiskan dirinya langsung dikaryakan di almamaternya itu untuk mendidik calon-calon imam serta sebagian waktu dihabiskan untuk studi lanjut.

Homili Pater Sefri malam itu sangat menyentuh keseharian hidup umat yang hampir 100% adalah petani. Hanya beberapa orang berprofesi sebagai guru yang mengajar di SDK setempat.

Homilinya lebih banyak menggunakan bahasa Manggarai, sehingga umat dengan mudah menangkap dan mencerna isi homili yang singkat, padat namun penuh makna itu.

Mengawali homilinya, Pater Sefri mengungkapkan, Injil hari ini menceritakan tentang kelahiran Tuhan Yesus, saat negeri mereka dijajah kekaisaran Roma.

Yosef dan Maria, katanya, memiliki usia yang berbeda. Yosef jauh lebih tua dari Maria yang kala itu masih berusia sekitar 17-an tahun.

“Yosef adalah seorang yang baik dan bijaksana, jika ada masalah tidak pernah menujukkan kemarahan di depan Maria. Tunggu hatinya sejuk baru mengajak Maria untuk berbicara dari hati ke hati. Demikian pun Maria, baginya Yosef itu di samping sebagai suami, juga menjadi saudara bahkan ayah baginya,” ungkap Pater Sefri, seraya menambahkan bahwa kisah ini tidak ada dalam Injil tapi ditemukan dalam beberapa tulisan Santo dan Santa.

Kehidupan Maria dan Yosef sebagai orang tua Yesus, lanjutnya, menjadi contoh untuk keluarga masing-masing bagaimana saling mengasihi dan memahami sehingga kehidupan keluarga selalu rukun, bahagia dan tidak saling marah dan dendam.

Makna Natal yang juga mesti direnungkan, lanjutnya, Tuhan yang maha besar itu lahir di kandang domba. Menunjukkan kerendahan hatiNya.

“Landing mose ditet manusia kadang lebih sombong one mai morin. Sering tuku pucu,conga bokak. Kadang karena sering conga bokak, toe noing manga watu olo mai sehingga timpok, cemoln ga roba,” ungkapnya dengan bahasa Manggarai, yang kalau diterjemahkan mengandung arti “Namun, kenyataannya hidup kita manusia kadang lebih sombong dari Tuhan. Kita sering merasa bangga dengan diri sendiri, ibarat leher mencongak ke atas terus, tapi tidak sadar di depan ada penghalang sehingga kita terantuk dan jatuh.” .

Tuhan, katanya, selalu mengajarkan kerendahan hati tapi bukan rendah diri. “Walau kita hidup miskin tapi tidak perlu rendah diri, sebab Tuhan selalu punya cara untuk mengangkat hidup kita,” katanya.

Lebih jauh Pater Sefri mengungkapkan, bahwa dalam hidup ini tidak luput dari masalah, kadang kita diberi rasa sakit mungkin karena kurang tidur akibat main kartu atau banyak minum tuak (arak).

“Kalau ada masalah atau kena sakit bukan karena Tuhan tidak sayang pada kita, tapi supaya kita bisa merenung. Mungkin Tuhan sedang mendidik kita agar mengurangi hal-hal negatif seperti main kartu, suka minum tuak. Sebaiknya hidup kita selau dekat dengan Tuhan lewat doa dan dan baik dengan sesama. Tuhan mendidik kita juga supaya hidup kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi kehidupan” katanya.

Pater Sefri berpesan supaya dalam keluarga perlu renungkan bersama antara suami istri juga harus berani saling memaafkan.

“Kamar keluarga dapat dijdikan tempat menyelesaikan masalah keluarga. Jangan selesaikan masalah di ruang tamu karena ruang banyak orang, ruang umum,” sarannya lagi.

Di penghujung homili, Pater Sefri kembali mengatakan “Hari ini Tuhan lahir di hati kita untuk mengangkat segala beban hidup kita, maka kita pun harus selalu dekat kepada Tuhan lewat doa-doa kita.”

Inkulturasi Manggarai tampak dalam beberapa bagian liturgi perayaan ini. Selain tarian pengantar, juga ada tarian persembahan serta tuturan adat sebagai doa syukur dan permohonan dalam bahasa Manggarai oleh tokoh umat setempat saat antar persembahan.

Bahan persembahan pun dari hasil kebun petani seperti jagung, kacang merah, dan sebagainya.

Umat mengaku tersentuh dengan homili Pater Sefri karena menyentuh kehidupan mereka sehar-hari

“Kotbahnya singkat tapi sangat menyentuh, apalagi banyak pakai bahasa Manggarai sehingga muda kita mengerti,” ungkap Frans, salah seorang umat Stasi Coal.

Usai misa, sebagain umat tidak langsung pulang. Mereka saling sapa, bersalaman bahkan ada yang saling rangkul, sebuah pemandangan yang menyenangkan.

Saya sengaja jalan kaki bersama beberapa warga dari kampung saat pulang misa. Dalam perjalanan berbincang banyak hal termasuk nostalgia masa lalu, di mana saat perayaan Natal atau Paskah harus menempuh perjalanan cukup jauh dan melelahkan di gereja pusat paroki dengan kondisi jalan yang buruk dan kadang berlumpur jika musim hujan.

Tapi sekarang dengan adanya misa perayaan di gereja stasi, tidak perlu menempuh perjalan jauh, bahkan kondisi jalan semakin membaik, sehingga sebagian orang memakai kendaraan roda dua bila pergi misa.

Pater Sefri pun, sore itu tanpa lama istirahat langsung start dari Stasi Coal sekitar pukul 18.30, menuju Stasi Lewur dengan kendaraan roda dua. Umat di sana pasti sudah menunggu untuk misa malam Natal pukul 19.00.

SELAMAT NATAL 2024″

Hironimus Adil (Komsos Keuskupan Denpasar)

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
error: Content is protected !!