Iman Katolik di Tengah Relativisme dan Sekularisme

MATARAM – Rm. Patris Allegro, kembali tampil di pulau Lombok untuk melanjutkan Seminar Mempertanggung Jawabkan Iman Katolik, sebagai narasumber.
Seminar ini merupakan program unggulan Komisi Kitab Suci Keuskupan Denpasar. Sebelumnya kegiatan yang sama di lakasanakan di dua tempat di Dekenat Bali Barat, yaitu di Negara (18/8) dan di Singaraja (19/8).
Seminar Mempertanggung Jawabkan Iman Katolik di pulau Lombok, dilaksanakan di Paroki Maria Immaculata Mataram, Jumat (22/8/2025). Pesertanya adalah umat Katolik yang datang dari 3 paroki yang ada di pulau itu yakni Paroki St. Yohanes Pemandi Praya-Selong, Paroki St. Antonius Ampenan dan Paroki St. Maria Immaculata Mataram.
Berikut rangkuman hasil Seminar di pulau Lombok yang diterima Redaksi dari Rm. Patris sendiri, dengan judul asli “Mempertangung Jawabkan Iman Katolik di Tengah Relativisme dan Sekularisme – Gereja Maria Immaculata Mataram.“
Zaman Serba Cepat
Hidup di zaman yang serba cepat ini penuh dengan tawaran ideologi dan gaya hidup. Banyak orang berkata, ‘Semua agama sama saja,’ atau ‘Yang penting baik hati, tak perlu urusan iman.’
Pandangan demikian itulah wajah relativisme: tidak ada lagi kebenaran yang pasti. Ditambah sekularisme, yang mendorong iman hanya tinggal di rumah atau di gereja, tak boleh muncul di ruang publik. Akibatnya, iman sering dianggap sekadar urusan pribadi, bukan sesuatu yang berharga untuk dunia.
Namun iman Katolik tidak bisa hanya dipeluk diam-diam. Iman adalah pelita yang harus menerangi, bukan disembunyikan. Karena itu, kita dipanggil untuk mempertanggungjawabkan iman—menjelaskannya dengan akal budi, menghidupinya dalam tindakan, dan menyatakannya dengan kasih.

Iman Katolik itu percaya kepada pribadi, bukan sekadar ide. Iman Katolik juga bukan sekadar kumpulan aturan atau tradisi, melainkan jawaban kita terhadap kasih Allah yang lebih dulu datang kepada kita.
Kita percaya bukan hanya pada ‘sesuatu’, tapi kepada ‘Seseorang’—Yesus Kristus, Tuhan yang bangkit. Karena itu, iman Katolik punya wajah yang hidup yaitu Yesus sendiri. Dialah kebenaran yang kita ikuti, bukan sekadar opini yang bisa diperdebatkan.
Bahaya Relativisme: Kebenaran Dikaburkan
Relativisme berkata semua orang benar dengan caranya masing-masing. Kedengarannya toleran,
padahal berbahaya. Kalau semua benar, maka tak ada lagi kebenaran. Kalau semua jalan sama, mengapa Yesus berkata: “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup” (Yoh 14:6)?
Relativisme membuat iman dipandang sama nilainya dengan sekadar pendapat pribadi. Padahal iman Katolik berdiri di atas wahyu Allah, bukan sekadar ide manusia.
Sekularisme: Iman Dipaksa Diam
Sekularisme berkata: “Silakan beragama, tapi jangan bawa ke sekolah, kantor, atau politik.” Akibatnya, iman dipenjara di ruang privat. Tetapi iman Katolik selalu bersifat ublic. Kita merayakan Ekaristi bukan sendirian, melainkan bersama-sama. Kita dipanggil menjadi garam dan terang dunia, bukan garam yang disimpan di botol. Injil justru harus hadir di jalanan, pasar, dan ruang ublic, agar dunia ditopang oleh nilai-nilai kebenaran dan kasih.
Akal Budi dan Iman: Dua Sayap Menuju Kebenaran
Paus Yohanes Paulus II mengingatkan bahwa iman dan akal budi seperti dua sayap. Iman tanpa akal bisa jatuh pada fanatisme buta, sedangkan akal tanpa iman bisa kehilangan arah dan terjebak dalam dinginnya rasionalisme.
Dengan akal budi, kita bisa menjelaskan iman dengan logis; dengan iman, akal budi menemukan tujuan sejatinya. Maka mempertanggungjawabkan iman berarti berani belajar, membaca Kitab Suci, mengenal ajaran Gereja, dan siap memberi jawaban dengan rendah hati tetapi juga tegas.
Cara Praktis Mempertanggungjawabkan Iman
Belajar dan Mengerti. Umat Katolik dipanggil untuk tidak hanya beriman, tapi juga mengerti iman. Katekismus, dokumen Gereja, dan Kitab Suci adalah harta yang harus kita gali.
Hidup yang Nyata. Kesaksian hidup lebih lantang daripada kata-kata. Orang akan percaya Injil bila melihat kita mengasihi, bekerja jujur, dan setia dalam keluarga.

Hadir dalam Dialog. Jangan takut bersuara di tengah masyarakat. Ketika ada diskusi tentang moral, lingkungan, atau keadilan sosial, suara iman Katolik harus terdengar—bukan untuk memaksa, tetapi untuk menegaskan kebenaran.
Relativisme dan sekularisme adalah tantangan, tapi bukan alasan untuk mundur. Justru di sinilah iman Katolik menemukan tugasnya: berdiri tegak, memberi jawaban, dan menjadi kesaksian.
Santo Petrus berkata: “Hendaklah kamu siap sedia memberi pertanggungjawaban kepada setiap orang yang meminta pertanggungjawaban dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu” (1Ptr 3:15).
Maka mari kita tidak hanya menyimpan iman dalam hati, tapi juga menjelaskannya dengan akal budi, mewujudkannya dalam kasih, dan menyalakannya di tengah dunia. Karena iman Katolik bukan sekadar milik pribadi, tetapi kabar gembira bagi semua orang. *
Editor: Hironimus Adil