SOSIALISASI TPE BARU DI PAROKI SANTO YOSEPH DENPASAR (bagiaan I)
Tahun 2021 merupakan tahun “istimewa” bagi Gereja Katolik di Indonesia. Mengapa? Karena pada tahun inilah, Gereja Katolik di Indonesia melalui Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) meluncurkan buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE) yang baru.
Buku ini telah dinyatakan berlaku sejak 2020 dan efektif digunakan sejak 2021. Di Keuskupan Denpasar, buku TPE baru ini selambat-lambatnya digunakan sejak minggu pertama November 2021. Itu berarti, paroki-paroki di Keuskupan Denpasar harus sudah menggunakannya pada Minggu, 7 November 2021.
Menindaklanjuti imbauan keuskupan, Paroki Santo Yoseph Denpasar melalui Seksi Liturgi menyelenggarakan sosialisasi TPE baru kepada umat. Tidak tanggung-tanggung, sosialisasi ini dilaksanakan dua gelombang. Gelombang pertama dilaksanakan pada Selasa, 19 Oktober 2021 dan gelombang kedua dilaksanakan pada Minggu, 24 Oktober 2021.
Dalam sosialisasi TPE yang baru ini, Paroki Santo Yoseph Denpasar melalui Seksi Liturgi mengangkat tema, “Dijiwai Semangat TPE yang Baru, Kita Wujudkan Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik”.
Sosialisasi ini dilaksanakan di Gereja Yesus Gembala Yang Baik Ubung dan diberikan langsung oleh dua pastor yang berkarya di paroki ini, yakni P. Yohanes Madya Adnyana, SVD (Pastor Paroki) dan P. Laurensius I Ketut Supriyanto, SVD (Pastor Rekan) selaku narasumber.
Gelombang I 19 September 2021
Sosialisasi TPE gelombang I, Selasa (19/10) dimulai pukul 18.00-21.30 WITA. Total 139 peserta telah terdaftar dan mengikuti sosialisasi gelombang pertama ini. Mereka adalah utusan dari lingkungan/stasi, seperti seksi liturgi, kelompok koor, dirigen, lektor, dan pemazmur. Hadir pula misdinar dan prodiakon yang tidak lain adalah petugas liturgi yang penting dalam perayaan Ekaristi.
Sosialisasi diawali dengan penyampaian susunan acara oleh Bapak Piet Wayan (Seksi Liturgi Paroki), sambutan oleh Bapak Aven (Ketua BPI) dan P. Yan Madya, SVD. D
P. Yan menegaskan bahwa para bapak uskup yang tergabung dalam KWI telah menerbitkan TPE yang baru. Maka, sebagai bentuk kesatuan dengan Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik, sosialisasi TPE ini dipandang penting dan perlu. Acara selanjutnya adalah nyanyian pembuka, bacaan Injil, dan doa pembuka yang juga dibawakan oleh P. Yan.
Sosialisasi ini terbagi menjadi tiga sesi, yaitu sesi I oleh P. Ketut, sesi II oleh P. Yan, dan sesi tanya jawab. Sesi I dibawakan oleh P. Ketut. Ia menjelaskan sejarah singkat TPE yang sudah dimulai sejak 1970 sebagai hasil dari Konsili Vatikan II. Ini adalah TPE pertama yang berbahasa Indonesia.
Sejak tahun 1980-an, inkulturasi semakin gencar dilakukan oleh Gereja Katolik di Indonesia untuk meresapkan sabda Tuhan sesuai “rasa” setempat. Akan tetapi, merayakan Ekaristi bukan hanya soal rasa, tetapi juga harus benar, sehingga Gereja Indonesia “sering ditegur” soal inkulturasi karena dianggap sudah kelewat batas,” ungkap pastor rekan paroki ini.
Selanjutnya, perkembangan TPE terlihat pada TPE 2005 sebagai pembaruan dari TPE 1970 dan TPE 2020 merupakan pembaruan dari TPE 2005. Memang, butuh waktu lama untuk membarui TPE ini, namun sejatinya TPE ini “bukan barang baru”. “Maka, kita perlu membiasakan yang benar, bukan mencari yang enak saja. Kita sekarang menyeragamkan kembali TPE yang benar melalui proses belajar bersama ini,” lanjutnya.
Selanjutnya, P. Ketut membedah satu per satu bagian-bagian TPE, dimulai dari Ritus Pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dan Ritus Penutup. Materi yang dibawakan P. Ketut bersumber dari Komisi Liturgi KWI, Komisi Liturgi Keuskupan Denpasar, dan Komisi Liturgi Keuskupan Malang. Beberapa nyanyian umat juga dilatih, seperti nyanyian Anamnesis setelah Doa Syukur Agung.
Setelah sesi I dan sebelum sesi II, sesi tanya jawab dilangsungkan. P. Yan sebelumnya menegaskan bahwa ia sendiri mengaku untuk belajar dari kesalahan. Maka, tidak hanya imam yang harus belajar, tetapi juga umat.
Beberapa pertanyaan praktis ditanyakan oleh umat. Jawaban P. Yan tidak lain adalah “ikuti buku TPE dan biasa-biasa saja, kah”. P. Yan mengaku bahwa praktik liturgi di Paroki Santo Yoseph Denpasar selama ia berkarya di paroki ini masih menemukan banyak kekeliruan. “Oleh sebab itu, mari kita kembali ke buku TPE dan kita itu jadi umat biasa-biasa sajalah, tidak perlu menambahkan yang tidak ada, dan justru meniadakan yang ada,” tegasnya.
Beberapa hal yang juga ditegaskan oleh P. Yan adalah pentingnya kelompok koor dan dirigen sebagai motor penggerak umat dalam bernyanyi dan menanggapi seruan imam. Oleh sebab itu, dibutuhkan dirigen dengan jiwa kepemimpinan yang mampu menggerakkan umat sehingga perayaan Ekaristi menjadi semarak.
Di samping itu, P. Yan menegaskan pentingnya paguyuban lektor dan pemazmur sehingga para pelayan liturgi dapat tersiap dengan baik. “Lektor dan pemazmur itu membawakan sabda Tuhan, maka perlu dilatih. Saya minta ketua-ketua lingkungan dan stasi mengirimkan orang-orang terbaiknya untuk dilatih. Tujuannya tidak lain adalah mempersiapkan para petugas liturgi dengan sebaik-baiknya. Jangan asal comot orang sehingga tidak tahu cara membaca, bernyanyi, dan sebagainya,” ungkap pastor asal Paroki Kulibul ini.
Beberapa perubahan juga dirasakan oleh misdinar dan prodiakon. Oleh sebab itu, untuk dua kelompok ini, paroki akan mengadakan pelatihan dan sosialisasi tersendiri. Tata gerak misdinar dan prodiakon akan diperbaiki sehingga sesuai dengan panduan TPE terbaru.
P. Ketut menambahkan beberapa hal seputar pengetahuan liturgi yang mungkin belum dikenal umat. Misal, liturgi ibadat harian yang merupakan doa orang Katolik sebanyak 7 kali dalam sehari, mulai dari pukul 3 pagi, 6 pagi, 9 pagi, 12 siang, 3 sore, 6 sore, dan 9 malam. Doa ini wajib bagi para biarawan-biarawati dan kaum tertahbis, tetapi juga sangat disarankan bagi umat awam.
Ia juga memperkenalkan istilah-istilah liturgis, seperti ambo sebagai sebutan resmi untuk mimbar sabda Tuhan. Ada pula istilah sakrarium, yaitu tempat khusus untuk membuang perlengkapan/alat liturgi yang sudah tidak terpakai karena sudah rusak, usia, dan sebagainya. Tidak semua paroki memiliki sakrarium. Di sekitar Denpasar, sakrarium terdekat berada di Tegal Jaya.
P. Yan menegaskan satu hal sebelum memulai sesinya, bahwa penerimaan komuni sedapat mungkin mengikuti anjuran dari Bapak Uskup di masa pandemi. Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya menerima komuni dengan tangan. Ia juga menegaskan pentingnya menerima komuni secara cepat tetapi tetap khusyuk, tidak perlu membuat gerakan-gerakan yang justru memperlama antrean penerimaan komuni.
Selanjutnya, sesi kedua dibawakan oleh P. Yan. Ia pertama-tama menyebut bahwa imam juga akan belajar untuk TPE baru, karena banyak perubahan juga dialami untuk para imam. “Akan tetapi, jika imam keliru karena tidak disengaja, maka umat harus melengkapi, tidak perlu diperdebatkan, apalagi mengganggu kekhusyukan misa. Istilahnya dalam hukum Gereja adalah “Ecclesia supplet”, artinya “Gereja saling melengkapi”. Kesalahan seorang imam yang tidak disengaja tidak membuat pelayanan sakramen menjadi tidak sah,” ungkapnya.
P. Yan juga menyinggung pentingnya kaderisasi organis di gereja. Saat ini, paroki sedang mengusahakan organ baru di Gereja Kepundung dan organ lama akan difungsikan untuk latihan organis. “Kita sudah memiliki pelatih yang dengan rela hati melatih calon-calon organis kita. Maka, saya mengajak para orang tua yang memiliki anak yang berbakat dalam bidang musik, untuk mengikutsertakan mereka dalam pelatihan organis ini,” tegasnya.
Terakhir, P. Yan menegaskan penggunaan dua gedung gereja untuk latihan koor. Penggunaan dua gedung gereja diperkenankan selama terdata oleh Seksi Liturgi Paroki dan tidak sampai larut malam. Alasannya adalah menjaga keamanan dan kenyamanan dengan lingkungan sekitar gereja.
Sosialisasi TPE gelombang I ini ditutup dengan doa malam, nyanyian penutup, dan berkat penutup oleh P. Yan Madya, SVD. (bersambung)