HIDUP MENJADI CERITA
Trending

SENJATA PAMUNGKAS ANTARETNIS DALAM BERKOMUNIKASI: NEKA RABO dan KALEMBO ADE

Oleh: P. Yosep Bala Makin, SVD

Mohon izin. Izin bicara – Penulis tidak berasal dari salah satu budaya sesuai judul tulisan ini. Kebetulan penulis pernah melanglang buana di dua budaya yang berbeda: Manggarai dan Mbojo, tanah Bima.

Pada tahun 1996, penulis dibenum untuk Ruteng. Selama 26 tahun penulis bertugas di wilayah Manggarai, khususnya Manggarai Barat, tepatnya di Labuan Bajo, kota pariwisata berskala super premium.

Secara geografis, Manggarai Barat adalah kabupaten yang terletak di ujung barat pulau Flores dan bertetangga dekat dengan Bima, ujung timur pulau Sumbawa – NTB (Nusa Tenggara Barat) yang dipisahkan dengan laut.

Hanya dengan sekali penyeberangan dari Labuan Bajo – Sape, dan sebaliknya, Sape – Labuan Bajo, dua wilayah itu dapat dijangkau dengan mudah dan menyenangkan.

Panorama keindahan alam laut dapat dinikmati dengan lebih leluasa selama pelayaran. Hiasan pulau-pulau kecil menambah keindahan sepanjang pelayaran penyeberangan sehingga menjadi lebih asyik dan menyenangkan bagi para penumpang.

Terkesan sedang berwisata laut. Mata dimanjakan sungguh dengan view laut yang menggoda. Pulau-pulau kecil berjejer rapat seakan ditata rapih tersusun di atas permukaan laut sepanjang pelayaran. Pelayaran penyeberangan selama tujuh jam dengan fasilitas umum Fery tidak memberikan kesan jauh dan sama sekali tidak membosankan para penumpang yang bepergian.

Tentu saja dengan semakin lancarnya fasilitas pelayanan umum, transportasi laut memudahkan pergerakan kelompok etnis dari kedua wilayah ini (Bima – Manggarai Barat- khususnya). Komunikasi antarkedua etnis terjadi dalam urusan ekonomi, hubungan kekerabatan, dan perkawinan.

Pergerakan manusia semakin dipermudah lagi dengan bertambahnya fasilitas transportasi kapal laut: PELNI dan PELINDO yang lebih dari memadai karena murah meriah untuk sekali ongkos perjalanan.

Perbaikan ekonomi keluarga menjadi alasan menjelajah dunia dengan mengadu nasib sebagai perantau. Di tengah masyarakat kelompok etnis tertentu menamakan diri sebagai manusia perantau kalau bukan diaspora.

Lumrah saja bahwa setiap kelompok etnis yang berpindah tempat tinggal, entah sementara ataukah akan menetap, sebagai perantau membawa serta segala yang menjadi kekhasan kelompok etnisnya sambil beradaptasi menerima kekhasan kelompok etnis setempat.

Tentu saja dengan sebuah pemahaman yang sungguh diyakini bahwa justru bahasalah yang merupakan cerminan identitas budaya etnis dan alat pemroduksian kembali perbedaan sosial antaretnis.

Bukan hal yang mustahil akan terjadi upaya saling memahami dalam berelasi dan berkomunikasi antarkelompok etnis. Ada rasa senasib dalam perjuangan. Ada pemahaman yang lebih baik dan terbuka mengenai relasi komunikasi dalam pergaulan kelompok budaya etnis sehingga terlihat jauh dari praktek etnosentrisme yang dianut segelintir orang.

Karena itu, mohon bicara/kalembo ade merupakan ungkapan yang berasal dari budaya etnis Bima demikian pun dengan neka rabo, yang berasal dari budaya etnis Manggarai. Dua ungkapan yang berasal dari dua kelompok etnis dengan budaya etnis yang berbeda tetapi akan ter-code dalam bahasanya masing-masing.

Peng-code-an itu akan terlihat dari pemakaian bahasa dalam berkomunikasi, yakni kata yang dilisankan dan disimak; yang memengaruhi perilaku dan sikap yang ditunjukkan yang mengekspresikan nilai kesantunan dan komunikatif dalam berkomunikasi antaretnis budaya.

Ungkapan itu telah menjadi kelompok kata yang bermakna positif yang dapat mengubah persepsi negatif dan prasangka jelek (prejudice) terhadap yang lain. Ternyata ungkapan itu sungguh berenergi positif dalam meredam situasi (bila ada), bahkan memberikan rasa adem, nyaman, dan diterima di samping dihargai dan dihormati sebagai teman dalam pergaulan.

Tentu saja sangat tepat sesuai konteks dalam pergaulan dan interaktif sosial antarkelompok budaya etnis. Ada kepekaan rasa akan kebersamaan dan rasa seetnis yang sekaligus merupakan buah dari pemahaman yang cukup mengenai budaya etnis sendiri sekaligus menjadi bekal untuk dapat memahami etnis lain.

Rasanya tak elok bila tersisip praktek etnosentrisme dalam pergaulan dan komunikasi dengan etnis lain. Maka segalanya dapat berjalan mulus tanpa hambatan dan sama sekali tak ada kesan tertutup atau pun tersembunyi.

Semuanya baik adanya. Itulah ekspresi budaya etnis yang wajar dan termuat kekariban yang kental dalam relasi sosial di tempat diaspora. Maka terbersit nilai-nilai yang menjadi kekuatan dalam berelasi antaretnis, yakni santun, bijaksana, rendah hati, dan sabar sehingga tersingkirlah sisi negatif dalam setiap pergaulan antaretnis.

Sangat jelas bahwa dua etnis itu memiliki budaya sopan santun yang tinggi paling kurang dari ungkapan yang dimilikinya. Bahasa dalam bentuk ungkapan itu seakan menjadi milik bersama paling kurang dimengerti dan diterima dalam berkomunikasi antaretnis.

Ternyata, ungkapan-ungkapan itu – dari dua etnis yang berbeda – diterjemahkan dan dimengerti sesuai konteks di mana sebuah kegiatan berkomunikasi berlangsung. Itu berarti bahwa terjemahannya pun sangat fleksibel dengan setia pada konteks ketika sebuah kegiatan komunikasi berlangsung yang tentu saja dengan mempertimbangkan: dengan siapa, di mana, kapan, dan dalam situasi seperti apa.

Ungkapan-ungkapan itu hampir tak bisa diterjemahkan dengan mendapatkan satu makna tetap secara leksikal tetapi dapat dimengerti dalam konteks permbicaraan dalam sebuah aktivitas berkomunikasi. Karenanya, situasi dalam berkomunikasi itu akan memberikan makna yang khas.

Masing-masing etnis seakan sudah dibelaki dengan pengetahuan mengenai keterampilan berkomunikasi yang terwujud dalam tindak komunikasi (hard skills) yang tepat dan berterima.

Di balik tindak komunikasi itu (hard skills) akan terlahir nilai atau value ke dalam wujud tindakan yang dinamakan soft skills, yakni santun dalam berbicara dan dalam mengungkapkan sesuatu dan sabar dalam perjuangan hidup sesuai konteks kehidupan yang sedang dijalani.

Tetapi tidak sebatas itu. Selain itu selalu ada upaya meredam setiap masalah yang dijumpai dan berusaha memberikan kesejukan hati dalam setiap situasi yang dihadapi. Justru karena adanya kekayaan soft skills itu yang akan sangat membantu setiap etnis dalam berelasi dengan cara yang baik dan menyenangkan, saling mengerti dan menerima keberdaan yang lain, penuh persaudaraan dan kekerabatan.

Karena cukup terbekali dengan pengetahuan yang dimiliki tentang nilai hidup, maka setiap kelompok etnis memiliki kemampuan yang cukup dalam mengatasi setiap kesulitan yang dihadapi dalam hidup sosial.

Kesulitan tak lagi menjadi milik sekelompok etnis melainkan menjadi kesulitan bersama yang harus sesegera mungkin diatasi.

Rasa keprihatinan terhadap yang lain yang dilanda kesulitan akan terungkap dengan ungkapan kalembo ade dan atau neka rabo (isi dari ungkapan ini sesuai konteks hidup bermasyarakat adalah maaf, cuma ini yang bisa kami bantu. Maaf, kami belum bisa membantu).

Ungkapan itu memiliki kandungan nilai, sikap, dan pandangan persaudaraan dan kekerabatan yang tinggi.
Dengan demikian, fungsi afektif bahasa dalam ungkapan itu lebih ditonjolkan dan lebih dominan dalam relasi dan komunikasi sosial di samping fungsi informatif.

Seluruh informasi akan menjadi lebih bermakna karena fungsi afektif bahasa yang lebih diutamakan. Menjadi semakin jelas dan dimengerti secara baik bahwa dalam berkomunikasi antaretnis terungkap dengan sangat rapi bahwa komunikasi itu tidak hanya mengungkapkan tentang isi atau materi pembicaraan (the world out there) tetapi juga menunjukkan jati diri realitas sosialnya.

Yang dapat terbaca adalah adanya keterampilan berinteraksi dalam berkomunikasi secara baik dan
menyenangkan serta berisi.

Ungkapan yang berbeda dari dua etnis yang berbeda yang digunakan justru memengaruhi pandangan mereka tentang dunia. Dunia mereka bukan lagi dunia sempit sumpek melainkan dunia bebas mahaluas yang dapat menjadi medan perjuangan dalam mempertahankan dan mengisi hidupnya.

Tersisip sebuah keyakinan naluriah bahwa nilai yang terkandung dalam setiap budaya etnis sebagai soft skills menjadi kekuatan dalam hidup sosial, bermasyarakat. Dan ungkapan yang dimiliki dan dianut itu akan mencerminkan persepsi mereka sendiri tentang realitas konkret yang sedang dihadapi.***

*Penulis adalah Pastor Paroki St. Yusuf Raba-Bima-NTB.

Show More

KOMISI KOMUNIKASI SOSIAL

Tim Redaksi *Pelindung Mgr. DR. Silvester San (Uskup Keuskupan Denpasar) *Pemimpin Umum/Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi RD. Herman Yoseph Babey (Ketua Komisi Komsos) *Redaktur: Hironimus Adil- Blasius Naya Manuk- Christin Herman- J Kustati Tukan-

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
error: Content is protected !!
Close
Close