Bertempat di komplek gereja Yesus Gembala Yang Baik, Ubung, Denpasar, Sabtu, 29 April 2023, diadakan rekoleksi untuk segenap devosan Komunitas Kerasulan Kerahiman Ilahi (KKKI) dari paroki-paroki.
Rekoleksi rutin ini mengambil momen mengenang kanonisasi Santa Faustina yang telah terjadi pada 30 April 2000. RP. Laurensius I Ketut Supriyanto, SVD sebagai narasumber rekoleksi.
Mungkin sudah cukup banyak umat mengenal ungkapan iman “Yesus, Engkaulah Andalanku”, namun proses pencapaian ungkapan iman ini, tidak didalami secara khusus. Maka rekoleksi ini memilih tema “Menjadi Kudus dengan meneladani Santa Faustina”.
Tema tersebut diangkat untuk membangkitkan semangat ziarah dalam prosesnya menuju kekudusan seperti panggilan Bapa Surgawi bagi para devosan Kerahiman Ilahi dan segenap umat beriman.
Rekoleksi dihadiri tidak kurang dari 115 orang. Mereka datang dari paroki Nusa Dua, Pecatu, Kuta, Katedral, Tabanan, Tuka, St. Petrus Denpasar dan Santo Yosep Denpasar sebagai penyelenggara dan tuan rumah.
Rekoleksi Komunitas Kerasulan Kerahiman Ilahi Keuskupan Denpasar (KKKI KD) adalah program rutin tingkat keuskupan yang dilaksanakan di tempat bergantian secara bergilir dengan tema sesuai keperluan.
Komunitas KKKI di paroki Santo Yoseph Denpasar sudah terbentuk dengan kepengurusannya, dan keberadaannya telah diterima Pastor Paroki dengan catatan belajar berorganisasi selama satu tahun terlebih dahulu, untuk disahkan sebagai kelompok yang akan masuk dan terlibat dalam kegiatan pastoral parokial.
Meskipun masih dalam proses bertumbuh, namun dukungan dari Pastor Paroki bersama Dewan Pastoral dan Dewan Keuangan tidaklah kurang. Itu terbukti dari izin penggunaan ruang untuk rekoleksi yang mendapat dukungan penuh.
Mengambil tempat di ruang aula Wisma Santo Yosef Freinademetz, 115 orang bisa mengikuti rekoleksi secara leluasa karena ruangan yang luas. Peserta rekoleksi dihantar dengan mengulik kisah hidup Santa Faustina yang terkadang mengejutkan peserta.
Selaku pembimbing rekoleksi, Pater Ketut mengisahkan, “Faustina yang bernama asli Helena Kowalska, adalah anak ketiga dari 10 bersaudara yang putus sekolah. Helena hanya bersekolah sampai kelas 3 SD.
Selanjutnya, kisah hidupnya diisi dengan membantu orang tuanya menggembala. Di tengah menjaga kawanan ternak itulah, Helena mengisi waktu dengan membaca buku kisah para kudus.
Di usia 19 tahun, Helena sudah menghasilkan uang untuk membantu orang tuanya membiayai hidup keluarga dan adik-adiknya. Helena bekerja menjadi pembantu rumah tangga dan berpindah-pindah.
Panggilannya menjadi biarawati, hidup dalam dirinya meskipun orang tuanya sempat menolak karena ketiadaan biaya. Kesetiaannya merawat panggilah Allah dalam dirinya membuatnya terus bersabar sambil berusaha mengumpulkan biaya yang diperlukan untuk kelengkapan memasuki biara, hingga akhirnya diterima ke dalam biara kongregasi Suster-suster Bunda Allah Berbelaskasih.
Kegersangan rohaninya bukan tanpa pergulatan. Dia bergulat dengan panggilannya hingga menerima wahyu dari Yesus, yang kemudian berlanjut dan tercatat dalam buku hariannya (BHF).
Kesetiaannya kepada bapa rohaninya, telah membimbing dia menuju kekudusan dengan buah-buah rohani yang bisa dinikmati hingga kini.
Penyakit TBC yang dideritanya, juga menghantar dia untuk menikmati bahwa seluruh hidupnya hanya tergantung pada Yesus, ‘Yesus, Engkaulah Andalanku.’ Bersama Yesus yang menjumpainya seperti terlukis dalam ikon Yesus Kerahiman Ilahi, Helena yang memilih nama biara suster Maria Faustina, berjuang secara pribadi dengan tekun.
Sesudah kematiannya, anggota komunitasnya baru menyadari bahwa Faustina memiliki pengalaman batin yang amat dalam setelah mereka menemukan catatan hariannya.
‘Yesus, Engkaulah Andalanku’ adalah ungkapan Faustina atas ketakmampauannya secara fisik dan rohani. Hanya Yesus yang bisa diandalkannya bagi jalan hidupnya.
Dia tidak menggantungkan harapannya pada kemampauan manusiawi, melainkan pada penyelenggaraan Yesus yang belaskasih dan penuh kerahiman. Faustina tunduk pada kehendak Yesus. Spiritualitas hidupnya itu, kini dapat ditemukan dalam catatan hariannya.
Meskipun Faustina tidak belajar Teologi dan hanyalah seorang anak yang belajar sampai kelas 3 SD, namun catatan dalam Buku Harian Santa Faustina (BHF) menunjukkan kaidah teologis yang sehat dan mengejut bagi para peneliti. Bahwa seorang anak yang tidak lulus SD bisa menulis buku dengan teologi mendalam secara benar.”
Lebih lanjut Pater Ketut mengungkapkan, dari pengalaman hidup Faustina dan dari catatan hariannya, dapatlah ditemukan beberapa butir keutamaannya:
Pertama,spiritualitas Faustina berlandaskan misteri iman yang paling indah. Misteri itu berbicara mengenai kasih kerahiman Allah kepada masing-masing manusia. Suster Faustina merenungkan misteri-misteri kerahiman Ilahi bukan hanya berdasarkan teks-teks Kitab Suci, tetapi juga dengan membaca kitab kehidupan. Renungan-renungan tentang kerahiman ilahi yang demikianlah yang mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada sesaat pun tanpa kerahiman ilahi.
Kedua, pengenalan misteri iman itu mengantarkan Sr. Faustina kepada kemampuan menemukan Allah dalam jiwanya. “Lubuk jiwaku laksana suatu dunia yang luas dan indah; di sana Allah dan aku hidup bersama. Selain Allah, tidak seorang pun diizinkan masuk ke dalamnya” (BHF 582). Suster Faustina membandingkan jiwanya dengan tabernakel, tempat Hosti yang hidup tersimpan. “Aku tidak mencari kebahagiaan di luar batinku sendiri karena di sinilah Allah bersemayam di dalam diriku; di sini aku senantiasa tinggal bersama Dia; di sinilah aku mengalami hubungan yang paling mesra dengan Dia” (BHF 454).
Ketiga, pengenalan misteri kerahiman ilahi membangkitkan dan menumbuhkan dalam jiwanya, sikap berharap (mengandalkan) akan Tuhan Allah dan sekaligus keinginan untuk mengukir sifat ilahi itu di dalam hatinya sendiri dan dalam tindakan belas kasih terhadap sesama.
Keempat, Tuhan Yesus yang membimbing hidup rohaninya secara langsung, menuntut dari Sr. Faustina sikap yang demikian terhadap Allah dan sesama manusia. “Putri-Ku, kalau melalui engkau Aku minta agar manusia menghormati kerahiman-Ku, hendaknya engkau menjadi orang pertama yang unggul dalam harapan kepada kerahiman-Ku ini” (BHF 742).
Kelima, kata-kata ‘Engkau andalanku’ menunjukkan relasinya dengan Allah. Ia berdoa, “O Yesusku, … aku ingin memancarkan hati-Mu yang pemurah, penuh kerahiman; aku ingin memuliakannya. Biarlah kerahiman-Mu, o Yesus, tercetak dalam hatiku dan dalam jiwaku ibarat suatu meterai, dan ini akan menjadi lencanaku dalam kehidupan yang sekarang dan yang akan datang” (BHF 1242).
Keenam, spiritualitas Sr. Faustina mempunyai pula ciri kecintaan pada Gereja sebagai Bunda terbaik serta Tubuh Mistik Kristus, yang dihayati dalam kharisma pendekatan misteri kerahiman ilahi melalui perkataan, perbuatan dan doa, khususnya doa untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga kecintaannya pada Ekaristi dan devosi tulus kepada Bunda Allah Kerahiman.
Ketujuh,menuju kerahiman sosial. Faustina memberi teladan untuk tidak melewatkan satu penderitaan sekecil apapun demi keselamatan jiwa-jiwa dan demi semakin eratnya relasi dengan Yesus.
Kedelapan, di sekolah spiritualitas Sr. Faustina, orang dapat mengenali misteri kerahiman ilahi, belajar kontemplasi Allah dalam hidup sehari-hari, melatih diri dalam sikap penuh pengharapan terhadap Tuhan Allah dan berbelas kasih terhadap sesama, menghayati relasi dengan Yesus dalam Ekaristi dan dengan Bunda Maria. Inilah spiritualitas yang sangat dalam berakar dalam Injil, dan sekaligus mudah dan mungkin untuk dipraktikkan dalam setiap jenis panggilan dan lingkungan; inilah alasan mengapa spiritualitas ini menarik begitu banyak orang pada masa kini.
Panggilan kepada kekudusan adalah panggilan bagi setiap pengikut Kristus yang ditanggapi secara beragam. Memperingati kanonisasi Santa Faustina, juga memberi harapan bagi setiap pengikut Kristus, bahwa jalan kekudusan tetap terbuka di tengah segala ketidakmampuan pribadi. Allah sendirilah yang memanggilnya Yoh 6:44.
Rekoleksi ini disempurnakan dengan perayaan Ekaristi dan baru ditutup keesokan harinya bertepatan dengan peringatan kanonisasi Faustina dengan perayaan Ekaristi.
Meskipun peserta tidak menginap, tetapi Ekaristi memperingati kanonisasi pada 30 April, di gereja Santo Yoseph Jalan Kepundung, tetap diikuti oleh para devosan dengan antusias.***

Editor: Hiro/KomsosKD