LINTAS KOMISILINTAS PERISTIWA
Trending

PERNAS KKI-IX; GEREJA KATOLIK KOMITMEN SEBAGAI GEREJA RAMAH ANAK

Hari ketiga Pernas Karya Kepausan Indonesia (KKI) di Bali, Sabtu (6/8), para peserta mendapat pembekalan dan wawasan terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak anak melalui Gereja Katolik Ramah Anak.

Menghadirkan Dr. Harla Sara Octarra, M.Sc, Dosen Universtas Atmajaya Jakarta dan Konsultan Ahli untuk Hak-hak anak dan perlindungan di Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, sebagai narasumber untuk berbagi ilmu seputar perlindungan dan pemenuhan hak anak.

Menurut Dr. Harla, yang dimaksud dengan “Anak” menurut UU Perlindungan Anak no. 35/2014 adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Dalam UU itu disebutkan, sebagai pemangku hak (rights holder) anak berhak atas apa yang menjadi kewajiban negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak anak. Anak juga sebagai individu dan bagian dari keluarga dan masyarakat, dengan hak dan tanggung jawab yang sesuai dengan usia dan tahap perkembangan serta bertanggung jawab untuk menghormati orang lain.

Jebolan Doctor of Philosophy in Social Policy University of Edinburgh, Scotland, ini mengapresiasi Pernas KKI yang membicarakan secara khusus tentang perlindungan dan pemenuhan hak anak. Hal ini tentu sangat menggembirakan dan menunjukkan bentuk komitmen dan tanggung jawab Gereja yang ramah terhadap anak, khususnya dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak mereka.

Menurut Dr. Harla, perlindungan dan pemenuhan hak anak, tentu tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi dibutuhkan juga peran serta masyarakat, termasuk lembaga agama seperti Gereja Katolik. Hal ini selaras dengan UU Perlindungan Anak no. 35/2014 pasal 72.

Berdasarkkan UU Perlindungan Anak pasal 72, masyarakat dapat berperan antara lain sosilaisasi dan edukasi tentang hal dan peraturan perundang-undangan tentang anak, memberikan masukan dalam perumusan kebijakan terkait perlindungan anak serta bisa melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran hak anak.

Masyarakat juga bisa berperan aktif dalam rehabilitasi dan reintegrasi anak,melakukan pemantauan, pengawasan dan ikut bertanggung jawab perlindungan anak, menyediakan sarana dan prasarana yang dapat menciptakan suasanan kondusif untuk tumbuh kembang anak.

Fungsi lainnya adalah berperan aktif menghilangkan pelabelan negatif dan memberikan ruang partisipasi dan pendapat anak, dengan kata lain mendengarkan anak.

Ada empat prinsip utama dalam pemenuhan hak anak antara lain mendengarkan pandangan anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, demi kepentingan terbaik anak dan non diskriminasi. “Ke empat prinsip ini saling terkait, tidak terpisahkan,” tegas Master of Science in Chilhood Studies Universityof Edinburgh, Scotland, ini.

Selain itu, ada juga lima (5) klaster Hak Anak yang harus diwujudkan sebagai pemenuhan hak dan perlindungan anak antara lain: Pertama Hak Sipil dan Kebebasan. Dalam kelompok hak ini mencakup identitas, berpendapat, informasi yang layak dan privasi.

Klaster kedua, Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif. Klaster ini mencakup pengasuhan orang tua, pengasuhan alternatif, bantuan negara (untuk pengasuhan dalam keluarga) dan tanggung jawab orang tua.

Klaster ketiga, Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, yang mencakup akses ke layanan kesehatan, jaminan sosial, standar kehidupan yang layak, dukungan untuk orang tua yang bekerja.

Klaster keempat, Pendidikan, Pemanfaatan waktu Luang dan Kegiatan Budaya. Dalam Klaster ini hak yang harus dipenuhi adalah pendidikan, tujuan pendidikan (universal dan inklusif), partisipasi dalam kegiatan seni budaya dan mengikuti kegiatan agama.

Klaster kelima adalah Perlindungan Khusus yang mencakup anak membutuhkan perlindunga khusus (AMPK), rehabilitasi dan reintegrasi, larangan hukuman mati dan pemenjaraan seumur hidup.

Lalu, bagaimana perwujudan perlindungan dan pemenuhan hak anak tersebut dapat diaplikasikan dalam rumah ibadat ramah anak, dalam hal ini gereja ramah anak?

Menurut Dr. Harla yang juga Konsultan Ahli dan Evaluator Kota Ramah Anak pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk memenuhinya tidak harus membangun fasilitas baru, tetapi fokus pada peningkatan fungsi/kualitas menjadi ramah anak.

“Tidak perlu fasiltas baru, yang penting peningkatan fungsi dan kualitasnya agar menjadi ramah anak, misalnya ruangan aman, fasilitas sesuai kebutuhan anak, ada program dan kegiatan inklusif anak mulai perencanaan sampai evaliasi serta adanya kebijakan yang melindungi dan berpihak pada anak,” katanya.

Untuk membantu para peserta yang adalah para Dirdios KKI dari seluruh Indonesia ini, Doktor Harla mengajukan beberapa pertanyaan reflektif sekaligus sebagai gambaran seperti apa rumah ibadat Gereja Katolik ramah anak.

Beberapa pertanyaan reflektif itu antara lain; apakah halaman buku warta/buletin komunikasi (jika ada) menaruh gambar hasil karya anak?; Apakah anak dilibatkan dalam kegiatan rutin di dalam dan luar gereja?

Pertanyaan lainnya, apakah membangun gedung gereja mempertimbangkan kemudahan akses bagi anak? Misalnya apakah toilet, washtafel, serta kursi-kursi di dalam gedung gereja ada yang sesuai ukuran anak-anak?

Kemudian, yang tidak kalah penting adalah apakah orang tua mendapatkanpelatihan tentang pengasuhan, hak anak atau layanan konsultasi masalah anak? Seberapa sering Pastor atau Ketua Lingkungan mendengarkan suara anak dibanding suara orang tua? Apakah Pastor menyapa umat termasuk anak saat di Mimbar? Dan bolehkah anak mengusulkan tema kotbah/homili?

*Paroki Ramah Anak Keuskupan Ruteng*

Untuk memperkaya para peserta salah seorang peserta yang adalah Dirdios KKI Keuskupan Ruteng Rm. Servulus Juanda, memperkenalkan Paroki (Gereja) Ramah Anak yang sedang dikembangkan di keuskupan itu.

Di Keuskupan Ruteng, menurut Rm. Servulus, saat ini sedang giatnya menyosialisasikan Paroki Ramah Anak. Spirit Kegembalaan menjadi semangat dari gerakan Paroki Ramah Anak itu. “Peduli isu anak merupakan satu tugas kegembalaan,” kata Rm. Servulus.

Bentuk kepeduliannya adalah pencegahan berupa pemenuhan hak anak, serta penanganan yang mencakup mekanisme penanganan kasus anak.

Peduli isu anak ini merupakan kerja integratif yang melibatkan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintah desa dan Gereja dengan perangkat-perangkatnya.

Latar belakang lahirnya Paroki Ramah Anak, menurut Rm. Servulus, antara lain banyaknya kasus kekerasan anak dan ada kasus kekerasan anak di sekolah termasuk Gereja. Juga atas kesadaran bahwa anak adalah mahluk yang bermartabat serta anak sebagai jalan menuju keselamatan.

Keuskupan Ruteng memberi pengertian khusus Paroki Ramah Anak yaitu Paroki sebagai salah satu institusi sosial religius yang dapat memfasilitasi pemenuhan hak anak.

Indikator Paroki Ramah Anak, antara lain adanya struktur penanganan isu anak seperti gugus tugas/Seksi tertentu, misalnya Sekami, memiliki dana/anggaran khusus untuk isu anak, katekese anak, pengoptimalan fungsi dan peran KBG, penguatan kapasitas team pendukung, mekanisme penanganan kasus dan pendataan.

Keuskupan Ruteng juga memiliki panduan pelayanan anak/protokol anak, panduan prilaku berhadapan dengan anak serta program pendampingan Keuskupan Ruteng Bidang Anak.

Hal-hal praktis yang sudah dilakukan antara lain edukasi terkait hak-hak anak, sosialisasi tentang protokol perlindungan anak, sosialisai paroki ramah anak menuju Keuskupan Ruteng Ramah Anak, peningkatan kapasitas animator/animatris, serta pendampingan anak korban kekerasan.

*Komitmen dan Panggilan-Perutusan Gereja*

Drinas KKI Rm. Markus Nur Widipranoto, dalam kesempatan ini juga memaparkan (sosialisasi) isi dari Pedoman Rumah Ibadat Ramah Anak dalam hal ini Pedoman Gereja Katolik Ramah Anak.

Menurut Rm. Nur Widi, Pedoman Gereja Katolik Ramah Anak (GKRA) itu sudah ada dan merupakan produk pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Pedoman ini sudah ada, tetapi belum diedarkan ke publik dan masih ada di Kementerian.

Dalam penyusunan Pedoman GKRR, Kementerian tersebut melibatkan pihak Gereja Katolik yang diwakili oleh Dirnas KKI Rm. Nur Widi dan juga Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP) KWI.

Secara umum yang dimuat dalam Pedoman itu lebih pada perlindungan dan pemenuhan hak anak. Rumusannya hanya menyasar gereja sebagai rumah ibadah. “Belum sampai pada tindakan lebih jauh terkait penanganan akan kasus-kasus,” katanya.

Terlepas dari akan adanya pedoman Ramah Anak, menurut Rm. Nur Widi, sejatinya Gereja Katolik sejak kehadiranya memang sudah berkomitmen dan menjadi panggian perutusan Gereja sendiri dalam perlindungan dan pemenuhan hak anak.

“Komitmen Tuhan Yesus terhadap anak-anak adalah komitmen Gereja. Jadi Gereja itu sudah ramah anak sejak awal. Sehingga sudah menjadi panggilan dan perutusan Gereja untuk mewujudkan pemenuhan hak anak,”tegas Rm. Nur Widi.

Lebih lanjut Rm. Nur Widi mengatakan bahwa dukungan Gereja terhadap adanya Pedoman Gereja Katolik Ramah Anak adalah sebagai bentuk komitmen dan keseriusan Gereja terhadap pentingnya ramah anak. Juga mau berpartisipasi aktif dan kewajiban Gereja Katolik dalam mendukung program pemerintah.

Ketika ditanya media ini, terkait langkah kongkret yang akan dilakukan KKI ketika Pedoman GKRA ini sudah resmi beredar, Rm. Nur Widi, mengungkapkan bahwa yang pasti akan melakukan sosialisasi dan berencana untuk membuat modul.

“Dari pedoman ini, nantinya kita akan membuat modul pembinaan terkait perlindungan dan pemenuhan hak anak yang menjadi pegangan para pendamping anak-anak atau para animator/animatris Sekami,” pungkasnya. ***

Penulis
Hironimus Adil
Tags
Show More

KOMISI KOMUNIKASI SOSIAL

Tim Redaksi *Pelindung Mgr. DR. Silvester San (Uskup Keuskupan Denpasar) *Pemimpin Umum/Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi RD. Herman Yoseph Babey (Ketua Komisi Komsos) *Redaktur: Hironimus Adil- Blasius Naya Manuk- Christin Herman- J Kustati Tukan-

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
error: Content is protected !!
Close
Close