LINTAS PERISTIWAPUSAT PASTORAL
Trending

PENGUATAN MODERASI BERAGAMA INTERN KATOLIK SEBAGAI KOMITMEN GEREJA MERAWAT INDONESIA

Komitmen Gereja Katolik dalam merawat Indonesia agar menjadi bangsa yang terbuka, rukun dan damai tak perlu diragukan.

Gereja Katolik baik secara nasional maupun di tingkat Gereja lokal (Keuskupan) secara konsisten dan kontinyu melakukan pendidikan atau pembinaan umat agar selalu terbuka terhadap perbedaan serta mendorong berjuang bersama komponen masyarakat lainnya dalam menciptakan Indonesia yang rukun dan damai, dengan berbagai kegiatan dan momentum.

Suasan diskusi kelompok

Seperti pada akhir pekan lalu, tepatnya pada Jumat (8/7), sebuah kegiatan berlabel “Dialog Kerukunan Intern dan Moderasi Beragama Umat Katolik” yang menghadirkan para tokoh agama dan tokoh masyarakat Katolik yang merupakan utusan dari paroki/stasi se-Bali dan dari Pusat Pastoral Keuskupan Denpasar, dengan total peserta 30 orang.

Kegiatan ini difasilitasi oleh Bimas Katolik Kementerian Agama Provinsi Bali, bekerjasama dengan Komisi Hubungan Antar-agama dan Kepercayaan (HAK) Keuskupan Denpasar. Acara yang dilaksanakan di salah satu hotel di Kuta, Bali, itu mengusung tema “Penguatan Moderasi Beragama Intern Katolik untuk Merawat Indonesia yang Inklusif, Rukun dan Damai.”

Pertemuan dengan metode Focus Group Discussion (FGD) tersebut jelas bertujuan untuk menegaskan komitmen Gereja Katolik dalam merawat ke-Indonesia-an sekaligus untuk mendukung program pemerintah RI yang telah menetapkan 2022 sebagai Tahun Kerukunan.

Ketua Panitia Pelaksana Yulianus Gale, dalam laporan pada pembukaan kegiatan itu menegaskan bahwa pemerintah telah menetapkan tahun 2022 sebagai Tahun Kerukunan. “Program ini menghidupi gagasan penguatan moderasi beragama. Dan Bimas Katolik dalam kerjasama dengan Gereja Katolik ingin melihat dan memahami moderasi beragama itu dari kacamata iman Katolik,” kata Yulianus.

FGD Penguatan Moderasi Beragama itu dihadiri dan dibuka oleh Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali DR. Komang Sri Marheni, S.Ag, M.Si.

Suasan diskusi kelompok

Kakanwil Kemenag Provinsi Bali itu, sangat mengapresiasi pembinaan yang konsisten dilakukan oleh Gereja Katolik termasuk dalam kerjasama dengan Bimas Katolik sebagai mitra Gereja dengan Pemerintah, khususnya dalam merawat kerukunan dan kedamaian di Indonesia.

“Apresiasi kepada pembinaan seperti ini yang telah mengundang tokoh-tokoh umat Katolik untuk duduk bersama dan mencari solusi bersama untuk persoalan-persoalan yang kita hadapi sebagai sebuah bangsa, termasuk persoalan kerukunan dan kedamaian,” ungkapnya.

Menurut Ibu Kakanwil, menjadi tugas bersama seluruh komponen bangsa untuk menjaga keharmonisan hidup baik antara sesama manusia maupun dengan Tuhan dan alam semesta.

“Covid 19 hendaknya menjadi permenungan bagi kita semua, mungkin kita selama ini telah mengabaikan keharmonisan dengan Tuhan, alam maupun dengan sesama,” katanya berefleksi.

Dari kiri ke kanan: RP. Paskalis Widastra,SVD, Kakanwil Kemenag Prov. Bali, Pembimas Katolik Prov. Bali dan RD. Evensius Dewantoro

Menurut DR. Komang Marheni, Bali hingga saat ini selalu rukun, aman, tenteram dan memberikan kenyamanan. “Kita harus menunjukkan kepada dunia, khususnya dalam menyambut pertemuan G-20 yang dilaksanakan di Bali tahun ini bahwa Bali memang sungguh-sungguh rukun, aman, tenteram dan memberikan kenyamanan itu,” tegasnya.

Lebih lanjut, Kakanwil mengingatkan kepada seluruh umat beragama dan para pemuka agama masing-masing, termasuk Gereja Katolik untuk senantiasai menginternalisasikan ajaran agamanya kemudian menghayatinya dengan memberikan aura positif dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam relasi dengan sesama termasuk dengan yang berbeda agama dan kepercayaan.

Ibu Komang Marheni dalam kesempatan itu juga menyampaikan sejumlah masalah keagamaan di Indonesia, antara lain adanya kesenjangan antara kesalehan individu dengan kesalehan sosial, tingkat prilaku yang menyimpang sangat tinggi dari ajaran agama, maraknya kasus-kasus kejahatan termasuk tindakan asusila dan korupsi serta terjadinya konflik yang disertai kekerasan atas nama agama. Masalah lainnya adalah eksklusifisme dan munculnya pemahaman keagamaan yang sempit.

Dia meminta kepada tokoh agama dan masyarakat supaya menyadari hal tersebut dan hendaknya menjadi garda terdepan dalam membangun pandangan kehidupan beragama yang moderat.

RD. Herman Yoseph Babey (kiri) saat menyampaikan materi didampingi moderator Laurens Sogen

“Peningkataan kapasitas aktor-aktor moderasi beragama seperti kegiatan ini sudah tepat, karena itu kami menyambutnya dengan baik,” pungkasnya seraya membuka kegiatan itu secara resmi.

Usai dibuka secara resmi oleh Kakanwil Kemenag, dilanjutkan dengan masukan dari para narasumber terkait Penguatan Modarasi Beragama dengan sub tema (perspektif) yang berbeda. Masukan dari para narasumber kemudian didalami dengan melakukan focus group discussion (FGD), maupun dalam bentuk diskusi kelompok dengan membagi peserta dalam beberapa kelompok sesuai teritori parokial yang berdekatan.

Adapun materi penguatan moderasi beragama intern Katolik ini antara lain ‘Moderasi Beragama dari Perspektif Katolik dan Membangun Moderasi Beragama dalam Dialog Lintas Agama’ dengan mitra diskusi (narasumber) RD. Evensius Dewantoro, yang merupakan Majelis Agama (perwakilan Katolik) FKUB Provinsi Bali.

Materi kedua adalah ‘Moderasi Beragama dari Perspektif Budaya’ dengan mitra diskusi RP. Paskalis Nyoman Widastra, SVD (Ketua Komisi HAK Keuskupan Denpasar).

Dilanjutkan materi berikutnya ‘Agen Pastoral yang Moderat dan Kontekstual.’ Materi yang disampaikan Direktur Puspas Keuskupan Denpasar RD. Herman Yoseph Babey ini memadukan antara tema kegiatan ini dengan tema karya pastoral Keuskupan Denpasar 2022.

Sebagai pemuncak adalah pencerahan dari Pembimas Katolik Kemenag Provinsi Bali Robertus Bilarminus Made Suryanta, terkait ‘Kebijakan Teknis Bimas Katolik dalam Penguatan Moderasi Beragama’.

RD. Evensius Dewantoro, dalam pemaparannya menyampaikan beberapa kata kunci terkait Penguatan Moderasi Beragama dari perspektif Katolik, baik yang bersumber dari Kitab Suci maupun ajaran/dokumen-dokumen Gereja termasuk ajara para Bapa Suci (Paus).

Menurut Rm. Venus, demikian akrab disapa, ada 8 kata kunci dalam Penguatan Moderasi Beragama dari Perspektif Katolik, yakni Kemanusiaan, Adil, Berimbang, Taat Konstitusi, Komitmen Kebangsaan, Toleransi, Anti Kekerasan dan Penghormatan terhadap tradisi.

Romo Venus juga menceritakan pengalamannya dalam membangun dialog lintas agama, termasuk perjumpaannya dengan Raja Salman dari Arab Saudi yang sempat viral beberapa saat lalu. Dikatakannya, dalam membangun dialog, yang dicari itu adalah titik temu, bukan titik tengkar.

Sementara Rm. Paskalis Widastra, mengungkapkan bahwa budaya senantiasa menjadi titik tengah dari perjumpaan agama dengan masyarakat.

“Agama selalu bertemu dengan budaya masyarakat tertentu. Banyak keutamaan dalam budaya masyarakat lokal sebagai nilai untuk membangun sendi-sendi kehidupan beragama yang moderat,” tegasnya.

Sementara itu Rm. Babey, dalam pemaparannya bahwa sesuai tema pastoral Keuskupan Denpasar 2022 “Gereja dalam Perutusan Kontekstual” Gereja selalu konsen terhadap berbagai persoalan di tengah dunia dan menanggapi semuanya sesuai konteks yang ada.

Konteks Indonesia saat ini adalah Negara majemuk yang terdiri dari berbagai perbedaan, termasuk perbedaan agama. “Menjadi tugas Gereja termasuk para agen pastoral untuk membangun dialog lintas agama maupun lintas budaya demi terciptanya kehidupan yang moderat, rukun dan damai,” katanya.

Sementara Pembimas Katolik, menegaskan bahwa sudah menjadi tugas Pemerintah dalam hal ini Bimas Katolik sebagai mitra Gereja untuk melakukan pembinaan umat Katolik dengan menganggarkannya demi terlaksananya kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan atau pembinaan umat termasuk penguatan moderasi beragama. “Kita akan selalu transparan dalam menyampaikan anggaran pemerintah untuk pembinaan masyarakat Katolik,” tegasnya.

Beberapa peserta mengungkapkan pengalaman mereka dalam membangun relasi yang baik dengan sesama yang berbeda agama.

Wayan Purwanto, dari Paroki Tuka, Bali Timur, mengungkapkan bahwa walau di tempat tinggalnya hanya keluarganya yang Katolik, tetapi relasi dengan umat Hindu setempat yang merupakan mayoritas tidak pernah ada masalah. Yang ada justru saling membantu dan memperhatikan bahkan saling berbagi makanan saat hari raya yang dalam istilah Bali disebut ‘ngejot’. “Kuncinya, saling menghargai,” katanya.

Pengalaman yang sama diungkapkan oleh Nyoman Melastika dari Paroki Gumbrih, Bali Barat. Menurut Melastika, walau umat Katolik terbilang kecil jumlahnya di Gumbrih, namun tidak pernah ada diskriminasi terhadap perhatian pemerintah desa setempat. Hal itu, karena umat Katolik ikut berbeperan dengan baik dalam masyarakat. Demikian pula hubungan kekerabatan antara umat Katolik dengan umat beragama lainnya, baik Hindu, Islam dan lain-lain sampai saat ini tidak ada persoalan, selalu hidup dengan rukun dan damai.

Kegiatan sehari tersebut ditutup oleh Pembimas Katolik Kemenag Provinsi Bali Robertus Bilarminus Made Suryanta. *

Penulis
Hironimus Adil
Show More

KOMISI KOMUNIKASI SOSIAL

Tim Redaksi *Pelindung Mgr. DR. Silvester San (Uskup Keuskupan Denpasar) *Pemimpin Umum/Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi RD. Herman Yoseph Babey (Ketua Komisi Komsos) *Redaktur: Hironimus Adil- Blasius Naya Manuk- Christin Herman- J Kustati Tukan-

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
error: Content is protected !!
Close
Close