MATARAM – Komisi Pendidikan Pusat Pastoral Keuskupan Denpasar, bergerak cepat menyelenggarakan program unggulannya tahun 20024 ini: Musyawarah Pendidikan Katolik. Bertujuan menemukan jalan keluar agar sekolah Katolik tetap diminati karena keuunggulannya.
Dalam program kerja komisi tersebut, kegiatan ini rencananya diselenggarakan di beberapa tempat dan waktu berbeda, yakni di pulau Lombok, Bali dan Sumbawa. Tema kegiatannya cukup menantang, “Benarkah Sekolah Katolik Mahal?
Latar belakang kegiatan dengan temaitu, tidak lepas dari sorotan umat yang cukup kuat menggema dalam ruang Focus Group Discussion (FGD) di KBG-KBG saat menggali evaluasi dan masukan umat dalam rangka Sinode V Keuskupan Denpasar tahun lalu, terkait pendidikan Katolik yang dinilai oleh sebagian kalangan umat terasa mahal. Sorotan itu juga terus menggema hingga di ruang Sinode V.
Dalam sidang pleno Dewan Pastoral Keuskupan Denpasar yang dihadiri oleh hampir seluruh imam yang berkarya di Keuskupan Denpasar serta fungsionari pastoral lainnya, masalah pendidikan Katolik kembali diangkat dan disepakati untuk menemukan solusi atau jalan keluarnya dengan melibatkan semua pemimpin pastoral baik tertahbis maupun terbaptis agar persoalan itu terpecahkan dan sekolah Katolik tetap eksis.
Lahirlah proram unggulan Komisi Pendidikan (Komdik): Musyawarah Pendidikan Katolik. Start awal musyawarah itu, dimulai di pulau Lombok dengan melibatkan para pengurus DPP, Ketua Lingkungan dan Ketua KBG dari dua paroki yakni Paroki Mataram dan Ampenan, serta sejumlah praktisi pendidikan Katolik sebagai peserta. Total peserta lebih dari 130 orang.
Musyawarah ini dilaksanakan Senin (26/2/2024) di Aula Yayasan Insan Mandiri Cabang Lombok. Begitu penting dan startegisnya kegiatan ini, terbukti dengan kehadiran Uskup Denpasar Mgr. Silvester San, untuk memberikan pengarahan sekaligus membuka secara resmi acara itu.
Hadir pula Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Denpasar RD. Herman Yoseph Babey, Ketua dan Sekretaris Komdik RP. Agustinus Sumaryono, SVD dan Kristin Herman, serta dua orang dari Tim Komsos, Hiro dan Samuel. Dari tuan rumah, antara lain hadir Deken NTB yang juga Pastor Paroki Mataram RD. Laurensius Maryono dan Pastor Paroki Ampnenan RP. Iron, SVD.
Ketua Komdik Puspas Keuskupan Denpasar RD. Agustinus Sumaryono, SVD, dalam sambutannya mengatakan bahwa cukup kuat muncul dalam FGD di KBG, menuntut supaya paroki menyediakan pendidikan agama Katolik. Itu berarti ada banyak orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik atau memasukan anak mereka di sekolah negeri atau swasta non Katolik. Sekolah Katolik alasan mereka mahal.
“Namun mahal itu tidak sepenuhnya benar. Sehingga sore ini, kita akan sama-sama mendengarkan pemaparan dari para narasumber yang terdiri dari pengurus yayasan pendidikan Katolik serta praktisi pendidikan yang memahami tentang kondisi ini, dan testimoni kita yang hadir juga pentingm ”ungkap Romo Jono, demikian Ketua Komdik akrab disapa.
Di sisi lain, Romo Jono juga menegaskan bahwa musyawarah pendidikan Katolik ini bertujuan mencari solusi atas apa yang menjadi sorotan umat, bukan untuk mencari-cari masalah baru. “Kita berharap sekolah Katolik di Keuskupan Denpasar semakin diminati, kalau bukan kita siapa lagi. Ini adalah tanggung jawab kita semua,” imbuhnya.
Hal senada diungkapkan Deken NTB RD. Laurensius Maryono. “Tujuan kegiatan ini adalah mendiskusikan bersama untuk mencari jalan keluar terhadap persoalan sekolah Katolik, sehingga tetap unggul dan berkualitas,” katanya.
Uskup Denpasar Mgr. Silvester San, dalam pengarahannya mengatakan, membicarakan pendidikan Katolik itu tidak pernah habis-habisnya dan kalau mau jujur banyak orang berminat masuk sekolah Katolik karena kekhasannya yaitu disiplin, berkualitas dan bermutu. Agar ciri sekolah Katolik ini tetap dipertahankan dan ditingkatkan maka perlu ada biaya.
Menurut Uskup, sekarang banyak tantangan sekolah Katolik, antara lain manjamurnya sekolah negeri yang katanya gratis, tetapi sebenarnya tidak gratis, sebab masih ada biaya yang dikeluarkan misalnya uang komite. Lalu, muncul sekolah swasta lainnya dengan fasilitas lengkap dan modern dan justru biayanya lebih tinggi lagi dari sekolah Katolik.
“Sekolah Katolik tidak pernah mencari untung, tetapi berjuang untuk ambil bagian dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan sebagai sarana pewartaan untuk mengentaskan kemiskinan dan kebodohan,” katanya.
Dengan demikian, sebagai umat Katolik diajak untuk terus mempromosikan sekolah Katolik dan mengajak para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Katolik. Sebab salah satu keunggulan bagi anak-anak Katolik adalah terjamin pendidikan imannya, juga ada pendidikan karakter serta pendidikan nilai lainnya. “Sekolah Katolik milik kita semua, maka kita bertanggung jawab mengembangkannya.”
Terkait sorotan sebagian orang bahwa sekolah Katolik itu mahal, menurut Uskup ini perlu kajian yang matang, benarkah sekolah Katolik itu mahal. Uskup mengungkapkan jika memandang pendidikan sebagai investasi bagi masa depan anak, maka biaya sekolah Katolik itu masih wajar.
Untuk orang tua yang kesulitan dengan biaya pendidikan, Keuskupan Denpasar telah memilki program dana solidarita pendidikan (Dasopen) untuk membantu anak-anak Katolik kurang mampu yang bersekolah di sekolah Katolik, bukan untuk mereka yang sekolah di sekolah non Katolik. “Ini adalah amanat dari hasil Sinode III,” katanya.
Kegiatan dilanjutkan pemaparan narasumber. Sesi pertama menghadirkan Ketua BPK Yayasan Insan Mandiri Cabang NTB RD. Patrisius Woda serta dua Kepala Sekolah pada yayasan itu yakni Pak Rino dan Ibu Yuli, demikiaan keduanya biasa disapa. Mereka mempresentasekan tentang Managemen Sekolah Katolik; Masalah dan Tantangan.
Sesi berikutnya disampaikan Pengawas Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kota Mataram Dra. Ni Nengah Sri Swathi, M.Pd, dengan materi “Kiat Mengelolah Sekolah Swasta (Katolik) berhadapan dengan Sekolah Negeri yang Gratis.
RD. Patrisius Woda, dalam kesempatan itu menegaskan bahwa lembaga pendidikan Katolik bersifat mandiri, sehingga terkesan mahal bila dibandingkan dengan sekolah negeri yang dibiayai oleh pemerintah, tetapi dengan sekolah swasta lain bisa lebih murah.
Namun, soal biaya itu, menurut Romo Woda tetap ada kebijakan tertentu, misalnya melalui Dasopen, dana peduli pendidikan dan sebagainya. Sementara ibu Yuli dan Pak Rino, mengungkapkan bahwa pihak sekolah selalu terbuka untuk berdialog dengan orang tua yang merasa sekolahnya mahal.
Pengalaman Ibu Yuli, soal mahal tidak mahal itu relatif. Dia menyarankan sebaiknya calon orang tua murid mau datang berdialog. Pihak sekolah akan menjelaskan terkait semua pembiayaan di sekolah. “Pengalaman selama ini, setelah orang tua mendapat penjelasan tidak sedikit yang mengakui bahwa sejatinya sekolah Katolik itu tidak mahal,” katanya.
Sementara Pak Rino mengatakan, biaya yang dikeluarkan orang tua sesungguhnya dikembalikan lagi kepada siswa dalam bentuk mutu sekolah yang berimbas pada kualitas anak didik, baik secara kognitif (pengetahuan), life skill (keterampilan) maupun psikomotorik (karakternya). “Biaya itu sebagai komitmen untuk mempertahankan atau meningkatkan mutu,” imbuhnya.
Sementara Ibu Sri, bersaksi bahwa Sekolah Katolik selalu menjadi pilihan bagi keluarganya, sehingga anak-anaknya semua tamatan SDK St. Antonius Mataram. “Kami ingin anak-anak kami mendapatkan pendidikan karakter yang bagus. Itu tahun 1990-an, apalagi sekarang dengan keranjingan gadget, mestinya pendidikan karakater harus kuat, dan itu ada pada sekolah Katolik,” katanya, seraya menyarankan agar Sekolah Katolik tetap mempertahankan ciri khasnya disamping terus pertahankan kualitas akademik maupun non akademik.
Usai pemaparan narasumber, dilanjutkan dialog dan tanya jawab. Cukup banyak masukan bernas dari peserta yang hadir dan rata-rata mengakui bahwa sekolah Katolik tidak terlampau mahal, tergantung penilaian orang saja dan output pendidikan seperti apa yang ingin mereka peroleh untuk anak-anaknya.
Suatu kenyataan muncul dalam musyawarah itu, bahwa justru di sekolah Katolik lebih banyak anak non Katolik. Dari jumlah, rata-rata siswa Katolik malah urutan ke-4. Urutan pertama hingga ketiga siswa terbanyak di sekolah Katolik di Mataram adalah Hindu, Kristen, Budha.
Sesi terakhir dari musyawarah ini adalah diskusi kelompok untuk mencari dan menemukan solusi terbaik bagaimana supaya orang tua tetap menjadikan sekolah Katolik sebagai pilihan utama pendidikan anak-anaknya. Dipandu langsung Direktur Puspas RD. Herman Yoseph Babey.
Pandangan-pandangan lain dan bagaimana jalan keluar yang ditawarkan dari para peserta dalam musyawarah itu, selengkapnya akan dibaca dalam Majalah Bulanan Agape, Edisi yang akan datang. ***