MENCENGANGKAN! ALTAR DICUCI PAKAI ANGGUR
( Catatan Pinggir Perayaan Pekan Suci dari Gereja Tertua di Bali) Oleh: Hironimus Adil
Perayaan Trihari Suci sudah sepekan terlewati. Laporan sebagian besar paroki di Keuskupan Denpasar yang diterima Redaksi Berita Keuskupan Denpasar ini, bahwa perayaan Pekan Suci tahun ini berjalan lancar dan aman. Puji Tuhan!
Saya mengikuti perayaan Pekan Suci di paroki St. Yoseph Denpasar. Lingkungan saya, Renya Rosari, bersama Lingkungan Maria Regina, dipercaya menjadi Panitia Paskah 2023 Paroki St. Yoseph.
Sebagaimana diketahui, paroki tertua di Bali ini memiliki dua gereja yang selama ini melayani perayaan Ekaristi, yakni di gereja lama St. Yoseph, jalan Kepundung Denpasar, dan di gereja baru Yesus Gembala Yang Baik (YGYB), jalan Saridana Ubung Kaja, Denpasar.
Panitia Paskah dibagi dua, Lingkungan Renya Rosari bertanggung jawab selama Pekan Suci di gereja St. Yoseph dan Maria Regina di gereja YGYB.
Sama seperti di gereja-gereja lainnya, di gereja St. Yoseph maupun di gereja YGYB, setiap misa/ibadat selama Pekan Suci tidak hanya berjalan lancar dan aman, tetapi kehadiran umat membludak, jauh lebih banyak dari misa hari Minggu biasa dan tentu saja melebihi kapasitas gereja.
Pemandangan seperti itu dimulai sejak Minggu Palma, 2 April 2023. Bahkan di gereja St. Yoseph yang memang ukuran dan kapasitasnya kecil, sebagian umat harus rela berdiri di sebagian badan jalan Kepundung. Demikian pula di gereja YGYB Ubung, selain di dalam gereja, di basemen gereja hingga Aula St. Yoseph, umat tumpah ruah.
MENCUCI ALTAR DENGAN ANGGUR
Tulisan ini, sejatinya tidak membahas lebih jauh soal kondisi maupun suasana selama Pekan Suci berlangsung dengan kehadiran umat yang luar biasa banyaknya.
Saya justru tertarik dengan sebuah upacara yang bagi saya, ini ‘baru’ pertama kali menyaksikannya, yaitu mencuci altar.
Benarkah ini sebuah tradisi Gereja, tepatnya tradisi Kamis Putih yang nyaris terlupakan? Bukankah, setelah Misa Kamis Putih yang biasa dilakukan hanyalah perarakan Sakramen Mahakudus yang dilanjutkan dengan Tuguran?
Ya, usai Misa Kamis Putih, yang paling dikenal adalah ‘Tuguran’ yang secara harfiah artinya: tugas berjag-jaga (bdk.KBBI).
Tuguran pada Malam Kamis Putih bermakna keikutsertaan kita umat katolik dalam doa bersama Yesus di taman Getsemani. Di taman tersebut Yesus berdoa sebelum ditangkap, disiksa, dan di salibkan oleh para serdadu Yahudi.
Soal tuguran ini sudah biasa dan hampir semua orang Katolik tahu. Mungkin juga sering mengikutinya. Kecuali kalau orang tersebut memang belum pernah mengikuti Misa Kamis Putih.
Ternyata bukan hanya tuguran, ada satu lagi tradisi Malam Kamis Putih yang penting namun hampir tak pernah dilaksanakan lagi. Sehingga tradisi ini mungkin belum banyak yang tahu. Termasuk saya. Baru tahu ada tradisi ini saat mengikutinya di gereja St. Yoseph.
Pastor Rekan Paroki St. Yoseph Denpasar, RP. Laurensius Ketut Supryanto, SVD, yang mencoba menghadirkan kembali tradisi kuno ini.
Bagaimana praktek penyucian altar ini di gereja St. Yoseph?
Selepas Misa Kamis Putih, 6 April 2023, dilanjutkan perarakan sekaligus penghormatan Sakramen Mahakudus menuju tempat doa yang terletak di pastoran St. Yoseph yang terletak di lantai dua gereja, di mana umat akan melakukan tuguran secara bergiliran setiap Lingkungan.
Usai mentahtakan Sakramen Mahakudus, Rm. Ketut, demikian akrab disapa,kemudian mengenakan stola hitam dan pluviale.
Selanjutnya Romo Ketut bersama prodiakon dan misdinar melakukan prosesi menuju altar untuk melaksanakan apa yang disebut sebagai Ibadat Penyucian Altar Kamis Putih.
Prodiakon yang mendampingi membawa anggur dan air, sedangkan misdinar (proakolit) membawa lilin kuning, sikat dari daun palma atau aspergillum, spons dan lap handuk putih. Para misdinar berdiri dengan lilin bernyala di kiri dan kanan altar.
Selanjutnya, Romo Ketut selaku pemimpin ibadat, berdoa dalam hening, dilanjutkan pendarasan mazmur sebanyak 3 bagian dari mazmur 22. Seusai pendarasan mazmur (tiga bagian), kemudian dilakukan pengosongan dan pembersihan altar.
Romo Ketut sendiri melakukan pencucian altar itu. Penyucian (mencuci) altar ini bukan seperti mencuci wadah atau sarana biasa umumnya, hanya dengan air lalu digosok jika perlu, dan seterusnya sampai proses pengeringan.
Ini yang mencengangkan, sarana utama dalam penyucian altar ini adalah memakai anggur. Ada tujuh ampul (botol kecil) anggur yang disiram di tujuh titik altar itu. Setelah dengan anggur, baru kembali disiram dengan air, lalu digosok/disikat dan dikeringkan.
Menurut Rm. Ketut, biasanya tradisi atau ritual penyucian altar ini dilakukan oleh tujuh orang pejabat gereja atau tujuh orang imam. Namun, karena keterbatasan jumlah imam, sehingga untuk upacara ini, Romo Ketut sendiri yang melakukannya, dibantu Prodiakon dan Misdinar.
Dikatakan Romo Ketut, bahwa kekurangan imam mungkin menjadi salah satu kendala sehingga tradisi ini tidak dilakukan lagi di gereja-gereja.
“Tetapi di Basilika St. Petrus Vatikan, tradisi penyucian altar dengan anggur ini masih dilakukan sampai sekarang setiap selesai misa Kamis Putih. Apa yang kita lakukan ini tentu mengacu pada ibadat penyucian altar di Basilika Santo Petrus pada Kamis Putih,” kata Rm. Ketut, seraya menegaskan bahwa tradisi ini sejatinya tidak dilupakan, sebab di Vatikan selalu dilakukan setiap tahun.
Untuk Ibadat penyucian altar di gereja tertua di Bali ini, kata Romo Ketut, sudah seijin Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Denpasar RD. Yasintus Nahak, dan tentu saja sepengetahuan Pastor Paroki St. Yoseph RP. Yohanes I Nyoman Madia Adnyana, SVD.
“Romo Sintus selaku Ketua Komisi Liturgi kita beritahu dan mengijinkan. Malah meminta supaya teks ibadatnya untuk dibagi,” cerita Rm. Ketut usai melakukan ritual penyucian altar. Lalu menyerahkan juga satu teks yang dimaksud kepada saya.
Dari teks yang saya dapatkan itu, lalu mulai sedikit memahami tradisi ini dan mencoba membagikannya dalam tulisan ini.
Mengutip dari teks yang diberikan Romo Ketut kepada saya, dituliskan bahwa secara tradisional pada hari Kamis Putih di Basilika St. Petrus, terdapat upacara pembersihan (pencucian) altar kepausan dengan anggur dan air.
Kardinal Wiseman, dalam ceramahnya tentang ibadat dan upacara Pekan Suci di Kapel Kepausan, menggambarkan upacara tersebut sebagai berikut:
“… hal lain dari praktek kuno, yang dahulu mungkin umum di setiap gereja, tetapi sekarang hampir tidak dilakukan lagi kecuali di Basilika St. Petrus. Di mana-mana altar resminya dilucuti pada Kamis Putih dan tetap seperti itu sampai hari Sabtu berikutnya.
Selama Tenebrae pada Kamis Malam, masing-masing kanon dan fungsionaris lainnya dari Basilika St. Petrus, menerima sikat yang terbuat dari bulu-bulu, dan setelah ibadat, seluruh pejabat tinggi Gereja berjalan ke altar utama, di mana tujuh guci anggur dan air disiapkan. Anggur dan air lalu dituangkan ke atas altar, dan para kanon setiap enam orang dalam satu kelompok, menggosok altar dengan sikat mereka dan setelah itu altar dicuci dengan spons dan dikeringkan…”
Lantas apa makna sesungguhnya dari mencuci altar itu?
Masih dikuti dari teks yang sama, disebutkan: “Santo Isidorus dari Sevilla, pada abad ketujuh, menyebutkan kebiasaan mencuci altar, dan bahkan lantai gereja pada hari ini (Malam Kamis Putih), untuk memperingati tindakan kerendahan hati, yang dengannya Penebus kita mencuci kaki para muridNya dan St. Eligius mencatat, dalam istilah yang serupa baik praktek dan tujuannya.
Dalam Ordo Romawi, Abbas Rupert, dan para penulis lainnya, membicarakan upacara ini sebagai praktek yang lazim dilakukan dan banyak dokumen abad pertengahan menunjukkannya dilakukan di Siena, Benevento, Bologna, dan gereja-gereja lainnya.
Pencucian altar juga dipraktekkan di Inggris, karena Misale Ritus Sarum menggambarkannya sebagai berikut: ‘setelah makan malam, semua klerus berkumpul di gereja untuk mencuci altar. Pertama air diberkati dari paduan suara dan secara pribadi. Kemudian dua imam yang paling dihormati bersiap bersama daikon, subdiakon dan dua akolit, semuanya memakai alba antik dan dua petugas membawa anggur dan air dan mereka mulai dengan altar utama mencucinya, menuangkan anggur dan air di atasnya.
Setelah doa-doa diucapkan selama satu menit dalam upacara itu, rubrik dilanjutkan; setelah Injil dinyanyikan seperti pada Misa, kedua imam yang disebutkan di atas akan mencuci kaki semua orang yang berada di paduan suara, satu imam di setiap sisi, dan kemudian mereka saling melakukan satu sama lain.’
Contoh-contoh ini sudah cukup untuk menunjukkan bagaimana upacara Pekan Suci, sebagaimana dilakukan di Vatikan, telah melestarikan ritus yang sebelumnya sangat umum di gereja, tetapi hampir seluruhnya menghilang pada prakteknya, seandainya hal ini tidak dilakukan dengan kehati-hatian.”
Penjelasan sebagaiman tertulis di atas tentu menjadi dasar utama dilakukannya Penyucian Altar oleh Romo Ketut Supryanto,SVD di gereja St. Yoseph Denpasar.
Kendatipun dalam prakteknya, mungkin tidak persis sama seperti yang terjadi di Vatikan atau praktek di beberapa gereja dalam kisah-kisah di beberapa gereja di Eropa, namun terpenting bahwa makna dari pencucian altar ini tidak lain adalah sebagai peringatan (symbol) kerendahan hati. Kerendahan hati seorang pelayan (imam) untuk mencuci altar bersama pelayan (awam) seputar altar seperti Prodiakon dan Misdinar.
Nilainya serupa dengan bagaimana Yesus membasuh kaki para Murid di Malam Perjamuan Terakhir. Yesus meneladani kerendahan hati, sekaligus memiliki hati yang mau untuk saling melayani. Bagaimana dengan kita? ***