LAYANG-LAYANG DI KAKI SALIB
DUA
Di pantai Mertasari kedua insan saling mencinta itu menatap senja.Bulatan matahari bergerak pelan mencumbu batas samudra.Langit senja memamerkan panorama megah.Tuhan benar-benar menunjukkan kebesaran-Nya.Tetapi Dayu justru menghela napas.
Agas menatap Dayu. Ia menangkap ada wajah keresahan. Tak biasanya Dayu gelisah. Keseharian Dayu selalu ceria. Penampilan Dayu yang ceria itu membuat para wisatawan simpatik padanya. Tapi saat ini Dayu tampak seperti sangat lelah.
“ Apa yang engkau pikirkan dik Dayu?” Agas menatapnya di balutan senja itu. Perempuan itu tampak begitu cantik.
“ Mungkin akan ada air mata.Ada perih antara kita.”
“ Air mata apa?”
“ Air mata cinta.” Jawab Dayu.
“ Jika air mata cinta terus menetes dari lubuk jiwa itu tanda cinta kita tulus iklas. Cinta tumbuh dari dalamnya ikatan batin.”
“ Tapi air mata cinta juga bisa berarti tangis perpisahan.”
“ Maksud dik Dayu itu perpisahan apa?”
Beberapa saat Dayu diam.Seperti tak kuasa meneruskan kata-kata. Dayu sadar betapa besar cintanya pada Agas. Walaupun ia sadar ada perbedaan kultur dan budaya antara mereka. Dayu sadar ada perbedaan keyakinan.
“ Tembok di depan kita terlalu kokoh. Bukan tembok beton tetapi tembok baja. Jika tembok beton mungkin bisa dirobohkan. Tetapi tembok baja mengalahkan kekuatan kita.” Dayu menghela napas.
Agas mengernyitkan dahinya.Coba membaca arah perkataan Dayu.Menafsir apa makna di balik ucapannya. Agas tahu cinta antara mereka berhadapan dengan banyak tantangan.Perbedaan keyakinan adalah tantangan terberat.
“ Aku tahu kita berbeda keyakinan.Itu tantangan berat. Tetapi aku yakin selalu ada solusi.Ada jalan keluar.” Agas menatap Dayu dengan tatapan lembut.
“ Perbedaan kultur dan budaya juga menjadi masalah.Bukan bagi kita berdua tetapi orang-orang di sekitar kita.”
Dayu berterus terang pada Agas sikap keluarganya. Terutama ayah yang tak merestui hubungan mereka. Alasan ayah karena perbedaan kultur dan budaya. Juga perbedaan keyakinan.
“ Ayah memintaku menikah.Tapi bukan dengan mas Agas.”
“ Menikah dengan siapa?”
“ Laki-laki pilihan ayah.”
“ Bagaimana keputusanmu?”
“ Aku bingung.”
Senja seolah berubah menjadi kusam.Pecahan ombak kecil di bibir pantai seolah desahan napas perempuan yang sedang memikul beban berat.Seperti desahan napas Dayu. Ia merasakan berada di antara dua pilihan.Mengikuti keinginan ayah berarti perpisahan.Ia harus melupakan Agas. Laki-laki yang telah ia kenal selama tiga tahun.Laki-laki yang membuatnya terpesona. Laki-laki yang membuatnya nyaman. Laki-laki yang selalu membuatnya tertawa lepas.
“ Dik Dayu harus berani menentukan sikap.Memang berat menentukan pilihan di antara dua hal yang sama-sama memiliki arti bagi hidup.Tetapi dik Dayu harus memilih.”
“ Aku menghadapi dilema.Di satu sisi aku menerima kemauan ayah yang menghendaki aku menikah dengan laki-laki pilihannya. Tetapi sisi lain keinginan ayah bertentangan dengan hati nuraniku. Dalam situasi ini posisiku seolah tak berdaya.”
Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Agas tahu melepaskan Dayu menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya sama saja dengan membuka pintu rumah seluas-luasnya dan membiarkan Dayu pergi.Mungkin Dayu tak akan menoleh lagi.Dayu tak akan kembali ke dalam kehidupannya.Ia akan terus pergi.Dan Agas akan merasakan kehilangan.
“ Aku kehilangan kemampuan untuk melawan kehendak ayah. Sungguh aku tak berdaya.”
“ Itu sama dengan dik Dayu memilih taat pada keinginan ayah?” Tanya Agas sambil menatap wajah Dayu.
“ Sudah Dayu katakan. Dayu bingung.”
“ Dik Dayu harus memilih.”
“ Kalau aku memilih menikah dengan laki-laki pilihan ayah, aku meninggalkanmu. Kalau aku memilih tetap mempertahankan cinta padamu aku menentang keinginan ayah. Dua pilihan yang bagiku sama berat.”
“ Dik Dayu harus memilih.”
Matahari pun terbenam di ufuk barat. Gugusan pulau Serangan pun tampak samar-samar. Pada hamparan laut berjejer lampu dari perahu para nelayan.Serombongan burung kalong terbang melintas di atas langit. Begitu bebas mengepak sayap. Dayu merasa iri terhadap ribuan burung kalong yang terbang bebas. Bebas tanpa ada yang mengendalikan.
“ Tak seorang pun boleh melawan kehendak orang tuanya. Melawan orang tua sama dengan melawan Tuhan.”
Agas mendaraskan kata-kata itu untuk meyakinkan Dayu agar berani mengambil keputusan.
“ Tapi keinginan ayah bertentangan dengan keinginanku. Jika aku mengikuti bukankah aku mengkhianati hati nuraniku?”
“ Keputusan sesuai hati nurani adalah keputusan benar. Di luar itu pasti keputusan yang salah.”
“ Ah, aku bingung mas Agas.”
Pantai Mertasari menjelma malam. Agas mengajak Dayu meninggalkan pantai itu.Mengantar Dayu sampai di gerbang rumah. Gerbang rumah di kawasan Sanur.
“ Dik Dayu harus berani mengambil keputusan.” Agas membisik sebelum berpisah dengan Dayu.
“ Aku akan pikirkan.”
“ Beranilah mengambil keputusan. Sebab hanya dengan melakukan itu dik Dayu akan terbebas dari kegundahan.”
Sesaat ia melambaikan tangan kepada Agas.Laki-laki itu juga membalas dengan lambaian tangan. Mereka pun berpisah.Agas menghidupkan motornya lalu bergerak pergi. Hilang di kegelapan malam diiringi tatapan mata Dayu. Menatap laju motor Agas sampai hilang di ujung jalan. Perempuan itu menarik napas. Rasanya mulai perih.
Tiba di kamarnya Agas menghempaskan tubuh di atas ranjang. Ia ikut merasakan apa yang Dayu hadapi. Dayu benar-benar menghadapi dilema. Agas teringat apa yang ia baca dari Katekismus Gereja Katolik artikel 2217 yang mengatakan selama anak tinggal bersama orang-tuanya, ia harus mematuhi tiap tuntutan orang-tua, yang melayani kesejahteraannya sendiri atau kesejahteraan keluarga.
Kolese 3:20 menulis; Hai anak-anak, taatilah orang-tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Anak-anak juga harus mematuhi peraturan-peraturan yang bijaksana dari pendidiknya dan dari semua orang, kepada siapa mereka dipercayakan oleh orang-tua.
Tetapi kalau seorang anak yakin dalam hati nuraninya bahwa adalah tidak sesuai dengan susila untuk menaati satu perintah tertentu, ia jangan mengikutinya. Juga apabila mereka sudah menjadi lebih besar, anak-anak selanjutnya harus menghormati orang tuanya. Mereka harus mendahului kerinduannya, harus meminta nasihatnya, dan menerima teguran yang masuk akal.***BERSAMBUNG
Kewajiban untuk mematuhi orang tua berhenti setelah anak-anak dewasa, namun mereka harus selalu menghormati orang tua. Ini berakar dalam rasa takut akan Allah, salah satu anugerah Roh Kudus.***BERSAMBUNG