LINTAS KOMISILINTAS PERISTIWA
Trending

IDENTITAS PENDIDIKAN KATOLIK MENYENTUH TIGA DAYA JIWA

Identitas pendidikan Katolik senantiasa mengedepankan pendidikan yang holistik (menyeluruh) integratif dan produktif. Maka, seluruh proses pendidikan harus menyentuh tiga daya jiwa yaitu head, heart dan hand.

Dengan demikian pada akhirnya pendidikan itu akan menghasilkan atau bermuara pada hal yang baik, benar dan menjawab kebutuhan sesuai konteks zaman.

Pada hari kedua, Rabu (31/8), “Pengolahan Karakter Pedagogi Guru” , Rm. TB. Gandhi Hartono, SJ, menegaskan hal di atas kepada para guru sekolah Katolik se-Keuskupan Denpasar, gelombang pertama.

Seorang pendidik, katanya, dalam proses pembelajaran mestinya sungguh memperhatikan tiga dimensi atau daya jiwa sebagai karakter yang menghantar peserta didik menjadi pribadi yang pedagogi, yaitu pribadi yang memiliki ketajaman nalar, kedalaman rasa dan aksi atau tindakan nyata.

Fasilittor: Rm. TB. Gandhi Hartono,SJ (Sekretris Eksekutif Komisi Pendidikan KWI)

“Ketajaman nalar itu kan bersumber dari head (kepala/otak/daya pikir), kedalaman rasa lahir dari heart (hati) dan aksi atau tindakan nyata melalui kreasi (tangan/hand). Tiga daya jiwa ini (head, heart dan hand) harus integratif sebagai satu karakter, artinya tidak hanya mengedepan salah satunya misalnya hanya diasah sisi inteletualnya saja (head), tetapi hatinya (heart) juga harus disentuh supaya memiliki karakter jujur/tulus, dan tangan yang dilatih dengan aksi nyata yang kreatif. Muaranya adalah terjadinya perubahan hidup menjadi baik, benar dan kontekstual,” katanya.

Lebih jauh, Sekretaris Eksekutif Komsi Pendidikan KWI, itu mengungkapkan bahwa tiga daya jiwa itu selaras dengan pesan Paus Fransiskus tentang Pendidikan Kini dan Ke depan dengan Semangat yang Diperbarui.

“Kata Paus Fransiskus, Pendidikan harus mengarah pada bertumbuhnya iman dan karakter jati diri manusia yang terwujud dalam kejujuran dan daya juang serta senantiasa mau berubah untuk masuk pada kedalaman hidup,” ungkpanya mengutip pesan Paus Fransiskus.

Peserta dalam dinamika kelompok, bernyanyi dan menari dengan bahagia. Bisa menjadi inspirasi dalam proses pembelajaran ke depan

Dikatakan, ada tiga hal penting yang dikatakan Paus Fransiskus mengenai pendidikan kini dan ke depan.

“Bagi Paus pendidikan bukan hanya mengetahui sesuatu atau sekedar mengikuti yang baik. Pendidikan harus mengarah pada tiga area dimensi utama karakter manusia yakni olah nalar, olah rasa dan kreasi,” katanya.

Paus juga menekankan bahwa dalam proses belajar semua pelaku harus siap untuk terus belajar. “Belajar supaya kita dapat berpikir mengenai apa yang kita rasakan dan merasakan apa yang kita pikirkan,” lanjut Rm. Gandhi, kembali mengutip kata-kata Bapa Suci Fransiskus.

Menurut Paus Fransiskus, dari kekuatan rasa dan nalar itulah pendidik akan mengantar anak sampai pada pedagogi kedalaman rasa, ketajaman nalar dan tindakan nyata.
Motivator Sekaligus Provokator

Semua Peserta Gelombang Pertama

Di samping itu, Romo Gandhi juga mengingatkan bahwa seorang pendidik, selain berfungsi sebagai edukator dan formator, juga harus menjadi seorang motivator dan provokator bagi anak-anak.

Pada hari sebelumnya, Rm. Gandhi telah mengingatkan bahwa seorang guru tidak hanya sebagai edukator tetapi harus menjadi formator. Edukator adalah seorang yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan nilai-nilai moralitas. Sedangkan formator fungsinya mendalami nilai-nilai edukator dalam spirit perubahan, bukan hanya lewat pengetahuan semata tetapi lewat tindakan nyata.

Kemudian pada hari kedua, Rm. Gandhi, kembali mengingat sekaligus menginspirasi para guru yang menjadi peserta kegiatan ini supaya menjadi seorang motivator dan provokator.

Seorang pendidik tidak hanya memberikan motivasi (semangat) kepada peserta didik, tetapi juga harus memprovokasi mereka untuk melakukan sesuatu dalam arti positif.

Guru-guru dari Yayasan Kosayu

“Provokator itu esensinya kan menggerakan aksi supaya orang lain melakukan sesuatu, tetapi bukan menggerakan aksi yang merusak seperti pemahaman umum selama ini. Namun, menggerakan dalam arti positif yaitu menggerakan peserta didik melakukan sesuatu yang menyenangkan,” jelas Imam Jesuit yang dibaptis menjadi Katolik pada usia 21 tahun ini.

Lebih lanjut, pemilik gelar Sarjana Teknin Sipil dari Universuta Indonesia, itu mengatakan, sebagai provokator, seorang guru harus mempersiapkan aksi yaitu membangun strategi yang terinspirasi dari perubahan yang dialami oleh para murid.

Sebuah proses pedagogi itu, katanya, supaya mendapatkan hasil tentu banyak tantangan maka dibutuhkan strategi untuk menaklukan tantangan.

“Ketika kita mengalami situasi yang tidak pasti atau mengalami kegagalan, maka kita harus berani untuk evaluasi dan berefleksi lalu kita bercakap-cakap atau berbagi dengan orang lain kemudian bergerak atau melakukan sesuatu,” urainya.

Guru-guru dari Yayasan Insan Mandiri dengan peserta paling banyak

Intinya adalah berangkat dari konteks (pengalaman) baik fisik, gagal atau pengalaman pandemi. Dampaknya tersirat dari sikap seperti sikap diam, marah, menyalahkan, menuntut, dan lain-lain. Ketika sudah memahami konteks lalu masuk ke proses pedagogi dengan melakukan komunikasi untuk mencari solusi. Baru melakukan eksekusi atau aksi nyata sebagai solusi.

Jadi, pendekatan solutif itu, katanya lebih lanjut, pertama harus memahami konteks, apa yang terjadi dengan anak-anak.

Guru-guru dari Yayasan Soverdi

Kedua, jangan melupakan orang tua, sebab mendidikan anak kini dan ke depan itu harus mengajak orang tua dalam gerakan pendidikan, bukan hanya sebagai pihak yang membayar uang sekolah anaknya.

Ketiga, bermain. Pembelajaran ke depan, menurut Rm. Gandhi, tidak hanya berkutat dalam kelas, tetapi juga di luar kelas dengan permainan yang menarik.

Keempat adalah proses menggerakan yaitu mengajak anak-anak untuk bicara, bercerita tentang dirinya dan sebagainya.

Kelima, mengenal murid-murid dengan baik. Ini hal paling urgen dan emergensi di tengah perubahan pendidikan.

Guru-guru dari Yayasan Marsidirini

“Kacamata yang pas untuk mengenal anak-anak didik kita adalah melihat dengan mata hati, menalar dengan lebih tajam mengenai kebutuhannya,” pungkasnya.

Kegiatan gelombang pertama selesai pada Rabu (31). Pengolahan Karakter Pedagogi Guru, sebuah kegiatan yang dilaksanakan atas kerjasama Majelis Pendidikan Katolik dan Komisi Pendidikan (Komdik) Keuskupan Denpasar ini, dilanjutkan dengan gelombang kedua, tetap ditempat yang sama di Rumah Khalwat Tegaljaya, Dalung, Bali, dengan Fasilitator yang juga tetap satu yaiyu Rm. TB. Gandhi Hartono, SJ.

Gelombang kedua menghadirkan 116 peserta dari sekolah-sekolah Katolik yang berasal dari empat Yayasan Pendidikan Katolik yang berkarya di Keuskupan Denpasar yaitu Insan Mandiri, Soverdi, Kolese Santo Yusuf dan Marsudirini. Jika pada gelombang pertama hanya guru-guru dari sekolah Katolik yang ada di Bali, pada gelombang kedua, juga diikuti 26 orang guru termasuk beberapa Kepala Sekolah dari Provinsi Nusa Tenggara Barat. *

Penulis
Hironimus Adil
Tags
Show More

KOMISI KOMUNIKASI SOSIAL

Tim Redaksi *Pelindung Mgr. DR. Silvester San (Uskup Keuskupan Denpasar) *Pemimpin Umum/Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi RD. Herman Yoseph Babey (Ketua Komisi Komsos) *Redaktur: Hironimus Adil- Blasius Naya Manuk- Christin Herman- J Kustati Tukan-

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
error: Content is protected !!
Close
Close