Katolik adalah sebuah identitas yang tidak pernah selesai dan selalu dalam proses menjadi. Karena itu, kekatolikan itu selalu hidup dan relevan karena senantiasa berproses dan menyesuaikan dirinya dalam konteks sosial kemasyarakatan di mana gereja itu hadir.
Oleh sebab itu, keberadaan Gereja tidak bisa terlepas dari konteks masyarakat di mana Gereja itu ada.
Demikian benang merah yang dapat ditarik dari sharing kerukunan Keuskupan Bogor dalam forum Dialog Kerukunan Umat Beragama Katolik di sesi kedua hari ketiga, Senin, 11/10/2020 di Denpasar.
Sharing kerukunan Keuskupan Bogor itu disampaikan Wakil Ketua Komisi Hubungan Antar-agama dan Kepercayaan (HAK) Keuskupan Bogor, RD. Dionnysius Yumaryogustyn Manopo.
Dalam konteks ini, lanjut Romo Dion, demikian hangat disapa, dua kata kunci yang penting yaitu Gereja dan Konteks. “Keduanya harus diperhatikan secara seimbang,” katanya.
Dia mencotohkan di Keuskupan Bogor yang umatnya tersebar sebagian di Provinsi Jawa Barat dan sebagian di provinsi Banten.
Konteks masyarakat Keuskupan Bogor itu, lanjutnya, berada di tengah suku Sunda (Jawa Barat) dan Suku Baduy (Banten) dengan mayoritas beragama Islam. Maka Gereja Katolik Keuskupab Bogor pasti bersentuhan dengan konteks masyarakat seperti itu bahkan membutuhkan mereka.
“Terlalu naif kalau Gereja Katolik Bogor tidak membutuhkan mereka,” katanya.
Konsekwensi logisnya, menurut Romo Dion, Gereja Katolik Bogor harus berusaha memahami budaya setempat baik budaya Sunda maupun Baduy termasuk mengenal bahasanya.
“Kita para imam berusaha belajar bahasa lokal setempat dan menyelami budayanya,” kata Romo Dion, seraya menambahkan bahwa dengan itu memudahkan dalam membangun relasi, dialog maupun kerjasa sama termasuk dalam membangun kerukunan.
Di sisi lain, pastor muda itu mengungkapkan tentang spirit perjumpaan yang dikembangkan di keuskupannya.
Spirit perjumpaan itu adalah perjumpaan dengan Allah harus diteruskan dalam perjumpaan dengan sesama manusia.
“Jadi, spirit perjumpaan kita dengan Allah harus diteruskan dengan spirit perjumpaan dengan sesama dengan membangun kebersamaan, relasi, dialog dan kerja sama termasuk dengan mereka yang berbeda dengan kita,” tegasnya.
Romo Dion menambahkan bahwa manusia beriman itu harus seimbang antara dimensi verikal dan horisontal.
“Simbol Salib sangat jelas. Bentuknya yang vertikal menunjukan hunungan dengan Dia yang di atas (Tuhan) dan horisontal (palang Salib) menunjukkan hubungan dengan sesama,” imbuhnya.
Spirit perjumpaan di Keuskupan Bogor, menurut Romo Dion diaplikasikan dalam bentuk nongkrong.
Nongkrong ini sebuah kearifan lokal bangsa Indonesia yang bermakna kebersamaan, atau bergaul bersama yang lain.
“Kami lebih suka dengan istilah nongkrong. Karena ini kearifan lokal (local wisdom) kita. Maknanya lebih luas dari sekedar dialog. Dan nongkrong bisa bersifat formal bisa juga bersifat non formal,” pungkasnya. *Hironimus Adil