Mendengar nama “Seminari”, apa yang akan kita bayangkan dan terlintas di benak kita masing-masing saat ini?
Secara tidak langsung, kita pasti akan membayangkan beberapa hal yang menonjol dalam kehidupan berkomunitas, seperti rutinitas yang padat, dan lain sebagainya.
Bayangan seperti inilah yang terkadang menghantui dan mengekang niat kaum muda untuk masuk ke seminari.
Menghadapi kenyataan ini, seminari seolah-olah dianggap sebagai suatu “ Penjara kebebasan”, ini dan itu diatur sedemikian, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Namun, dibalik itu semua tersirat sebuah tujuan mulia yang ingin dicapai oleh seminari sendiri, yakni menghasilkan calon-calon imam yang ideal di masa depan.
Dalam hal seperti ini, seminari merupakan tempat persemaian awal panggilan bagi para seminaris.
Ibarat seminaris sebagai benih padi, seminari adalah lahan persemaian. Sebab itu ada banyak hal yang dibuat yaitu sawah mesti dipupuki pakai pupuk ini dan bukan itu, sawah diari, di bajak dan sebagainya demi hasil panen nanti yang baik.
Di seminari, para seminaris diolah secara matang. Tujuannya untuk membangun kepribadian seorang pelayan dalam diri mereka.
Tidak hanya itu, kehidupan di seminari juga didasari oleh beberapa aspek kehidupan seperti Sanctitas, sanitas, scienci dan societas.
Pertama, Sanctitas yakni membangun hidup rohani untuk menjalin hubungan dengan Tuhan lewat pola hidup sehari-hari.
Kedua, Sanitas yakni membangun kesehatan jiwa dan raga yang tangguh.
Ketiga, scientia membangun semangat hidup studi yang tinggi.
Keempat , societas yaitu membangun relasi dengan berbagai tipe orang dalam satu komunitas.
Dengan aspek- aspek hidup inilah para seminaris diolah menjadi pribadi yang unggul dan berkualitas.
Selain itu, seminari juga menyediakan sarana dan persarana sebagai pendukung bagi kehidupan para seminaris dalam mengelolah kepribadian mereka, yaitu dengan silentium, dan berrefleksi.
Silentium sangat berpengaruh bagi perkembangan diri seminaris sendiri.
Suasana silentium inilah yang menjadi kesempatan mereka untuk lebih menghayati panggilan di dalam diri mereka dan sekaligus menjadi saat-saat di mana mereka menyambut kehadiran Tuhan sendiri.
Lebih dari itu semua, suasana hening juga menciptakan ketenangan hati di dalam diri mereka.
Hidup berefleksi adalah suatu bagian yang telah melekat erat di dalam diri seminaris. Hal ini sudah menjadi kebiasaan mereka sehari-hari.
Bagi mereka sendiri berefleksi itu sangatlah penting. Karena apa? Karena dengan berefleksi, mereka diajak untuk mencoba memaknai segala pengalaman hidup mereka sehari-hari.
Bahwasanya, refleksi juga membangun seminaris menjadi pribadi yang tenang.
Oleh karena hal itulah, hidup berefleksi menjadi suatu kelebihan bagi seorang seminaris sendiri. Di mana dengan hidup berefleksi, mereka dapat mengolah perkembangan diri mereka sebaik mungkin.
“Kejujuran” hal ini mungkin tidak asing lagi bagi para seminaris. Pasalnya, hal inilah yang menjadi keutamaan bagi seorang calon imam.
Mengingat bahwa hal itu menjadi suatu keutamaan, seminari sendiri menyikapinya dengan sangat tegas.
Coba bayangkan, jika seorang calon imam tidak mempunyai kejujuran? Bagaimana perkembangan hidup Gereja untuk selanjutnya?
Melihat hal itu, kejujuran menjadi hal yang tidak kalah pentingnya bagi kehidupan para calon-calon imam.
Sebab, hanya dengan kejujuranlah sabda-sabda Tuhan itu dapat diwartakan.** Rafael Kewa Weking